Hakim Anggap Polisi Ketahui Ada Penambangan Pasir Ilegal di Lumajang


SURABAYA - Persidangan kasus pembunuhan aktifis tambang pasir besi Lumajang, Salim Kancil berlanjut ke pemeriksaan para saksi. Pada persidangan yang digelar diruang candra PN Surabaya, Kamis (25/2), menghadirkan empat orang saksi. 

Mereka adalah Paimin selaku PNS di Kantor Kecamatan Pasirian, Rulianto selaku pembeli pasir tambang, Sudomo selaku operator alat berat, dan Briptu Muhammad Hasan Basri selaku penyidik Unit Pidsus Polres Lumajang. Keempatnya dimintai kesaksian atas sepuluh terdakwa yang diantaranya yakni Kades Hariyono dan Mat Dasir.

Sementara untuk Majelis Hakim, diketuai oleh Hakim Jihad Arkanuddin, beserta Hakim anggota Efran Basuning dan Sugianto. Sidang pertama beragendakan keterangan dari Saksi Sudomo, selaku operator alat berat (bego). Dalam kesaksian di Ruang Sidang Candra, saksi Sudomo kebanyakan mengatakan kata “Tidak tahu”.

Selanjutnya, saksi kedua yakni Briptu Muhammad Hasan Basri. Uniknya, pada kesaksian dari penyidik Polres Lumajang ini, Hakim Efran Basuning ‘Menyemprot’ saksi dari kepolisian. Untuk hal itu, Efran menyayangkan keterangan dari saksi Briptu Hasan yang mengaku tidak tahu menahu akan kegiatan tambang pasir ilegal di Desa Selok Awar-awar.

“Kan Polisi seharusnya tahu ada kegiatan masyarakat (tambang pasir). Kan ada 200 truk yang lewat jalan Kota. Dimana peran Polisi dalam hal ini ?. Baru sudah berdarah-darah, kalian (Polisi, red) turun,” tegas Hakim Efran Basuning saat menceramahi saksi dari penyidik Polres Lumajang, Kamis (25/2).

Mendengar ceramah dari Hakim Efran, Briptu Hasan hanya mejawab dengan kata ‘Siap’. Hasan mengaku, pihaknya tidak tahu akan adanya tambang pasir berdarah ini. Sebab, Ia mengaku bahwa di Desa Selok Awar-awar tidak ada masalah terkait tambang pasir. “Karena penambangan pasir kan tidak hanya di Desa Selok Awar-awar saja,” elak saksi Hasan.

Dijelakan Hasan, dari hasil penyelidikan diketahui bahwa ada penambangan pasir di Pantai Watu Kecak, Desa Selok Awar-awar. Setelah dikordinasikan kepada KPT (Kantor Pelayanan Terpadu), diketahui tambang pasir tersebut tidak memiliki ijin. Dalam hal ini, Hariyono berperan sebagai kordinator penambangan, sementara Mat Dasir berperan sebagai pengawan dan mengkordinir para pekerja.

“Dari hasil penyelidikan, tercatat bahwa dalam sehari ada 200 dum truk yang mengangkut pasir. Untuk portal, dikenakan biaya Rp 250 ribu. Di Selok Awar-awar, saya tahu hanya ada enam pertambangan yang legal,” terang saksi.

Sementara itu, Hakim Efran menyayangkan sikap Polisi yang tidak tahu menahu akan adanya dum truk pengangkut pasir yang melewati jalan Kota. Begitu juga Aparatur Pemerintah, Efran menganggap bahwa Aparatur Pemerintah dan Penegak Hukum merupakan garda terdepan dalam kasus penambangan pasir di Lumajang.

“Bagian reserse kan harusnya tahu kalau ada penambangan pasir. Dimana Polisi, saat terjadinya pertambangan itu ? apalagi saat ada kejadian pembunuhan. Apa pura-pura tidak tahu ?,” semprot Efran dihadapan saksi Briptu Hasan.

Tak hanya sampai disitu, saat istirahat persidangan, Hakim Efran menambahkan bahwa pembunuhan Salim Kancil menandakan bahwa system Pemerintahan di Indonesia tidak jalan dengan baik. Hal itu, lanjut Efran, diketahui dari pembiaran yang dilakukan petugas saat mengetahui adanya dum truk muatan pasir illegal. “Setiap hari ka nada 200 dum truk yang melintasi jalan perkotaan. Naïf kalau Aparatur Pemerintah dan Penegak Hukum tidak tahu akan hal itu,” tandasnya. (ban)

Lebih baru Lebih lama
Advertisement