SURABAYA - Tentu kita ingat
Pilkada Gubernur Jatim yang hampir satu dekade ini adalah termahal di Indonesia
yang hampir menelan Rp 1 Trilyun Dana Rakyat dari jalur APBD Jatim dengan sistem
tabung selama 5 tahun itu.
Dan siapa bernyali
rombak demokrasi ala kacamata kuda dalam Pilkada di Indonesia, yang sementara
Partai Partai terlanjur hedonism dengan figur popular dan berduit? Itulah
kondisi nyata di publik, di mana Rakyat tak punya pilihan lain, apalagi bicara
kriteria, karena Partai menetapkan jagonya untuk disodorkan ke panggung politik
dan Rakyat disuruh memilih secara kacamata kuda.
Dan belum lama ini
dalam minggu awal Maret 2017, bertempat
di Lodji Besar Koffie & Jamoe di kawasan jalan Makam Peneleh Surabaya, The Initiative Institute Launching hasil
penelitiannya untuk songsong Pilgub Jatim 2018, yang bertema Kriteria Pemimpin
Jatim dihadiri KPU Jatim, para politisi, budayawan dan sekitar 35 wartawan ini
berlangsung menarik, dinamis dan meninggalkan banyak
catatan kriteria yang cocok buat Rakyat Jatim pada umumnya itu apa dan
bagaimana seharusnya, agar Rakyat tidak terjebak pola Demokrasi ala Kacamata
Kuda dari Parpol yang punya jago?
Airlangga Pribadi
selaku CEO the Initiative Institute melontarkan
4 kriteria, pertama terkait Integritas seorang calon pemimpin yang
bermoral dan tidak terjerat korupsi, ke dua Problem solver dimaksud mampu beri
motivasi kepada publik dan bisa beri jalan ke luar dari persoalan sosialnya
yang menimpa masyarakat luas. Ke tiga Solidarity maker, sosok tokoh yang bisa
membuka inisiatif publik untuk berpartisipasi konkrit dalam pembanguinan, dan ke empat Political capital yang diartikan
memiliki basis kekuatan politik (dukungan riil partai).
Uniknya, diskusi
Kriteria Pemimpin Jatim itu tidak fokus secara matang dulu dan dikomparasi
dengan berbagai macam kriteria yang berakar kultur dengan masyarakat setempatm
misalya. Termasuk, bagaimana peluang calon pemimpin dari kriteria Sipil-Militer
atau Militer-Birokrat juga duetnya Umara-Ulama yang tepat dengan peta sosial
politik Jatim ini.
“Ada yang juga dilupakan kelajiman kriteria
Savety Incumbent ini, di mana Sang Gubernur lama menginginkan pola
kepemimpinannya berlangsung normatif dan nyaman buatnya. Contohnya, itu di
Jatim dari Pak Imam Utomo kepada Pakde Soekarwo,” celetuk Su’ud Wartawan Duta.
Angga panggilan akrab
Airlangga itu menanggapi dengan enak dan terbuka, kami dalam diskusi ini tidak
menutup adanya kemungkinan kriteria lain. “Dialog ini merupakan yang pertama,
dan nanti berlanjut. Ya, minimal mestimulir situasi umum jelang Pilgub Jatim di
tahun 2018, nanti,” jelas Angga.
The Initiative Institute
yang merupakan konsultan politik dan problema sosial ini melemparkan pula
wacana figur-figur dari hasil pemberitaan selama setahun lebih, tepatnya dari
Januari 2016 - Maret 2017, yang hasilnya
memunculkan 4 tokoh utama, antara lain Syaifullah Yusuf 34%, Tri Rismaharini
33%, Khofifah Indarparawansa 15%, Abdullah Aswaranas 11% dan figur lainnya yang
8 nama di bawah sekitar 8%.
Nah, di situlah
suasana diskusi agak kontroversi antar subyektivitas dari sebuah kriteria
dengan figur pemimpin yang lagi popular dalam pemberitaan media massa cetak, on
line, radio dan televisi.Pihak PPP Jtim
menanggapi, gambaran dari figur yang muncul itu menunjukkan bahwa ke 4 nya
bersumber dari kultur sama yaitu Nahdliyin sehingga tepatlah Jatim merupakan
ajang Pilkada bagi para pemimpin dari keluarga besar NU, kata Didik Soeleiman
Fadeli sebagai Sekretaris DPW PPP Jatim.
Meski Tri Rismaharini, lebih distigma
(dicap) oleh publik sebagai orang berkultur abangan dan bukan santri atau
priyayi.
Tidak ketinggalan Andri
Arianto Dosen Fisip Unair menjelaskan lebih gamblang terkait ke 4 figur dalam
teknis kriteria itu, misal Gus Ipul disebut paling tinggi nilai positif
pemberitaannya, khususnya terkait berita ekonomi sosial. “Nilainya 5,38 persen,” ungkapnya. Sedang
Risma nilai negatifnya pada perburuhan dan lemahnya komunikasi politik dengan
kalangan Dewan maupun partai politik, terang Adri lagi.(mashur)