DPRD : Pemkot Harus Antisipasi Anak Putus Sekolah

Surabaya Newsweek- Anggota Komisi D DPRD Surabaya Reni Astuti kembali minta pemerintah kota melakukan antisipasi agar tidak sampai terjadi anak-anak Kota Pahlawan putus sekolah gara-gara tidak mampu membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).

Permintaan ini dia sampaikan setelah SPP yang baru diterapkan untuk SMA dan SMK di Kota Surabaya, mengundang banyak polemik.

Menurut Reni, di berbagai kota/kabupaten lain bisa membantu anak siswa SMA/SMK untuk tetap melanjutkan pendidikan formal, meski pengelolaannya sekarang ada pada pemerintah provinsi.

“Berkali-kali saya sampaikan, harus diantisipasi agar tidak putus sekolah,” kata Reni Astuti, kemarin.

Legislator dari PKS ini mengatakan, kalau memang tidak mampu, maka pemkot harus memberikan pendampingan. Yakni melalui bantuan sosial yang disalurkan pada warga Surabaya.

Semangat membantu warga Kota Surabaya, sebutnya, harus menjadi dasar bantuan pada siswa SMA/SMK, bukan pada wewenang pengelolaan.

“Masalah nomenklatur sudah dikonsultasikan ke kemendagri juga nggak ada masalah. Di undang-undang juga nggak ada larangannya,” ucapnya.

Dia cukup mengapresiasi rencana Pemkot Surabaya untuk mendirikan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Dengan data acuan 11.866 siswa yang rentan putus sekolah, menurutnya pemkot harus mengantisipasi dengan bantuan sosial.

“Jadi jangan ditampung kalau memang sudah putus sekolah. Tapi yang rentan juga harus diusahakan agar tidak putus sekolah,” ujarnya.

Meski demikian, tambah Reni, memang harus ada kerjasama dari Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya.

Yakni, pemprov harus memperjelas pembiayaannya pada SMA/SMK sebatas mana. Hal ini juga harus disampaikan tertulis sebagai acuan Pemkot Surabaya dalam membantu siswa warga Surabaya.

“Pemkot bisa membantu siswa SMA/SMK seperti saat membantu warga Surabaya untuk melanjutkan pendidikan tinggi,” terang Reni.

Senada, Wakil Ketua Komisi A DPRD Surabaya Adi Sutarwijono sebelumnya mengatakan, Pemprov Jatim harus bertanggung jawab mengatasi siswa tidak mampu dan remaja putus sekolah agar dapat mengenyam pendidikan di tingkat SMA/SMK.

Penegasan ini dia sampaikan pasca Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan warga Surabaya terkait pengelolaan SMA/SMK oleh pemprov.

"Yang harus dipikirkan adalah bagaimana mengatasi siswa tidak mampu di level SMA/SMK, terutama sekolah negeri. Juga menanggulangi para remaja putus sekolah di level SMA / SMK. Itu yang harus dipikirkan oleh Pemprov Jatim," kata Adi.

Legislator yang kerap disapa Awi ini menyarankan Pemprov Jatim agar menganggarkan biaya pendidikan sesuai amanah UU, yakni 20 persen dari total kekuatan APBD Jatim, guna mengatasi problem siswa kurang mampu dan putus sekolah. 

"Kan APBD Jawa Timur lumayan besar. Tahun ini media mencatat sebesar Rp27 triliun. Kalau 20 persen saja untuk anggaran pendidikan, berarti setidaknya dialokasikan Rp 5,4 triliun. Angka yang sangat besar," katanya.

Dia menyebutkan, jika sekarang anggaran pendidikan di Jatim relatif kecil dan masih belum mampu menyediakan pendidikan murah khususnya di Surabaya, maka pemkot tidak bisa mengintervensinya.

Sebab, keputusan bisa atau tidaknya pemkot membantu siswa kurang mampu untuk SMA/SMK, kini bergantung pada kebijakan Pemprov Jatim.

"Bisa saja pemkot membantu melalui APBD. Tinggal Gubernur Jatim membicarakan masalah itu dengan Wali Kota Surabaya. Kebijaksanaan ada di tangan Gubernur Jatim," ujar Awi.  (Adv )


Lebih baru Lebih lama
Advertisement