Surabaya, Newsweek - Kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan eksploitasi terhadap mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) menjadi pembicaraan yang hangat beberapa waktu belakangan ini setelah korban dugaan pelanggaran HAM menyuarakan pada podcast-podcast maupun acara televisi terkait pelanggaran HAM yang dialaminya.
OCI merupakan sirkus yang terafiliasi dengan Taman Safari dan merekrut anak-anak sejak usia sangat dini, bahkan ada yang mulai bekerja sejak umur dua tahun. Kasus ini bermula sejak era 1970-an hingga 1990-an di lingkungan Taman Safari Indonesia. Para korban, sebagian besar perempuan paruh baya, mengaku mengalami kekerasan fisik dan psikis, eksploitasi, serta pelanggaran hak anak, seperti tidak diberi akses pendidikan dan tidak mengetahui identitas asli mereka.
Mereka juga mengaku dipaksa tampil meski dalam kondisi sakit, dipukul, disetrum, dipisahkan dari anak kandung, dan dipaksa melakukan tindakan merendahkan seperti memakan kotoran hewan. Keluarga pendiri Taman Safari, termasuk Hadi Manansang dan Tony Sumampouw, disebut-sebut bertanggung jawab atas praktik tersebut, meskipun pihak OCI membantah tuduhan ini.
Dugaan kekerasan dan eksploitasi mulai terjadi pada tahun 1997 dan kemudian dilaporkan oleh para korban.
Namun, pada tahun 1999, polisi mengeluarkan surat ketetapan penghentian penyelidikan (SP3) atas laporan tersebut. Pada periode 2002 hingga 2004, Komnas HAM menerima pengaduan ulang dari eks pemain sirkus dan mencoba memediasi penyelesaian secara kekeluargaan, termasuk mengupayakan pengungkapan asal-usul identitas para pemain sirkus, tetapi upaya ini tidak memuaskan korban. Kasus ini kembali mencuat ke publik pada tahun 2024 ketika enam mantan pemain sirkus mengajukan gugatan hukum terhadap Taman Safari dengan tuntutan ganti rugi sekitar Rp 3,1 miliar dan melaporkan dugaan pelanggaran HAM ke Komnas HAM.
Pada April 2025, para mantan pemain sirkus mendatangi Kementerian HAM untuk mengadukan dugaan eksploitasi, kekerasan, dan perbudakan yang mereka alami, sehingga KemenHAM mulai mengusut kasus ini dan memanggil pihak Taman Safari untuk klarifikasi.
Dasar hukum yang dapat dipakai dalam menangani kasus dugaan pelanggaran terhadap eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) terutama berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan penganiayaan diantaranya :
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
2. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan umum, yang mengatur tindakan kekerasan fisik yang menyebabkan rasa sakit atau luka pada orang lain.
3. Pasal 353 KUHP tentang penganiayaan berat, yang mengatur penganiayaan yang mengakibatkan luka berat atau bahaya bagi korban.
4. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan UU No. 23 Tahun 2002) mengatur perlindungan anak dari kekerasan, penganiayaan, penelantaran, diskriminasi, dan eksploitasi
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menangani kasus dugaan pelanggaran HAM dan eksploitasi terhadap eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), antara lain:
1. Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) telah melakukan pendalaman kasus dengan meminta keterangan dari para ahli hak asasi manusia dan pakar hukum pidana, serta memetakan masalah untuk memastikan keadilan bagi para korban.
2. Dukungan DPR RI, khususnya Komisi XIII dan Komisi III, mendorong pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) independen untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM berat yang dialami para eks pemain sirkus OCI.
3. Pendampingan psikologis dan perlindungan hukum bagi para korban juga menjadi perhatian pemerintah dan DPR, mengingat trauma yang dialami korban bersifat jangka panjang dan mendalam.
4. Upaya penyelesaian secara kekeluargaan juga ditempuh, terutama di tingkat daerah seperti Pemerintah Kabupaten Bogor yang mendukung mediasi dan fasilitasi penyelesaian kasus secara damai, meskipun secara hukum kasus ini masih berproses.
KESIMPULAN
Kasus dugaan pelanggaran HAM dan ekploitasi berat terhadap mantan pemain sirkus OCI, yang terafiliasi dengan Taman Safari dan melibatkan perekrutan anak-anak usia sangat dini, mencuat dari era 1970-1990an hingga kembali mencuat pada 2024, mendorong korban untuk mencari keadilan melalui jalur hukum dan pengaduan ke Komnas HAM, yang kemudian direspon oleh pemerintah melalui KemenHAM dan DPR debgan melakukan pendalaman kasus, mempertimbangkan pembentukan TPF, menberikan pendampingan kepada korban, dan mengupayakan penyelesaian berdasarkan undang-undang terkait HAM, penganiayaan, dan perlindungan anak, termasuk upaya mediasi di tingkat daerah.
SARAN
Melihat dampak jangka panjang yang ditimbulkan dalam dugaan pelanggaran HAM dan eksploitasi yang dialami oleh mantan pemain sirkus OCI, disarankan agar pemerintah, khususnya KemenHAM dan aparat penegak hukum untuk segera membentuk Tim Pencari Fakta independen dengan melibatkan ahli di bidang HAM,, perlindungan anak, dan psikologi untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk menegakkan keadilan bagi para korban juga memastikan transparansi dalam berjalannya proses hukum. Selain itu, pemulihan psikologis korban harus diutamakan serta mediasi yang dilakukan harus mengedepankan hak-hak korban dan memberikan kompensasi yang setimpal atas kerugian yang diderita, dengan tetap menjamin kewajiban moral dari para pihak yang terbukti bertanggungjawab atas kerugian para korban.
REKOMENDASI
1. KemenHAM dan aparat penegak hukum perlu mengalokasikan sumber daya yang memadai dan segera membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) independen dengan kewenangan penuh untuk mengumpulkan bukti secara objektif yang mendukung keadilan para korban.
2. Mengutamakan juga program pemulihan psikologis dan sosial untuk mengatasi dampak trauma jangka panjang bagi para korban dengan menggunakan tenaga ahli yang berpengalaman.
3. Upaya mediasi harus dijalankan dengan mekanisme yang adil dan berorientasi pada hak korban dan memastikan bahwa kompensasi yang diberikan proporsional dengan kerugian yang diderita mencakup aspek materiil dan non-materiil serta memastikan adanya pertanggungjawaban moral dan hukum yang tegas bagi para pihak yang terbukti bersalah untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. (Ban)