Minggu pagi 15 Juni 2025 di Lawang, Malang, acara reuni dan temu kangen ternyata tak hanya merekatkan benang silaturahmi para alumni STIKOSA-AWS Angkatan 1983, tetapi juga menjadi saksi lahirnya sebuah karya sastra yang menyelam jauh ke samudra imajinasi.
Di kediamannya yang teduh di kawasan Anggun Sejahtera, Dra. Sri Puri Suryandari, M.Si yang akrab disapa Puri – meluncurkan novel perdananya bertajuk NaiNai Dhodhori.
Sebuah kisah fantasi tentang duyung dan darah hijau yang bertuah, namun juga menjadi cermin imajinatif tentang pencarian jati diri dan warisan takdir.
Peluncuran novel ini bukan sekadar agenda pelengkap dalam reuni, tetapi menjadi denyut nadi emosional dalam temu kangen para alumni.
Sosok Puri, yang telah menuntaskan tugas pengabdiannya di Pemkot Surabaya dan menyelesaikan studi magisternya di Universitas Dr. Soetomo, kini membuka lembaran baru sebagai pengarang fiksi anak dan remaja.
Di hadapan rekan-rekannya yang sebagian besar telah memasuki usia senja, ia menyampaikan harapan sederhana namun bermakna, “Semoga karya saya ini bermanfaat, terutama untuk anak-anak. Terima kasih atas semua doa dan dukungan.” ujar Puri.
Novel NaiNai Dhodhori menjadi simbol bahwa menulis adalah napas panjang yang tak pernah padam, apalagi bagi alumni sekolah kewartawanan.
Sekalipun tidak semua menjadi wartawan, namun roh jurnalisme tetap hidup dalam getaran kalimat dan alur kisah.
Dunia Bawah Laut
NaiNai Dhodhori membuka gerbang dunia fantasi dengan tokoh utama seorang anak laki-laki bernama Nai, yang ternyata memiliki darah keturunan sang penguasa lautan, Ea.
Kisahnya mengalir dari danau tersembunyi di bawah pohon flamboyan, menuju kedalaman Mariana tempat para duyung muda belajar tentang jati diri, kekuatan, dan ancaman.
Dari seorang anak manusia biasa, Nai berubah setelah bertemu Moress, duyung pembawa kabar takdir. Ia mulai merasakan kekuatan aneh ketika menghirup andropagon tanaman mistis yang hanya tumbuh di perairan rahasia.
Nafasnya berpindah ke dalam air, dan hidupnya bergeser dari daratan ke samudra, dari manusia ke makhluk legenda.
Konflik muncul ketika kekuatan tak kasat mata menyerang dunia duyung di Acatama. Nai, yang memiliki darah hijau darah Ea menjadi incaran.
Konon, darah itu bisa memberi kehidupan abadi bagi siapa pun yang meminumnya. Di titik ini, novel menjelma kisah survival, persahabatan, dan pertempuran antara kebaikan dan kekuasaan.
Seri pertama ini bertajuk Darah Hijau, diterbitkan oleh penerbit Alineaku, dan digadang akan menjadi saga laut dalam beberapa jilid ke depan.
Bagi Puri, ini bukan hanya karya sastra, melainkan persembahan untuk generasi muda agar terus berani bermimpi, berimajinasi, dan mengakar pada identitas diri.
Ingatan Tak Lekang Waktu
Dhimam Abror, tokoh jurnalis senior yang juga inisiator reuni ini, menggarisbawahi makna pertemuan yang tak semata mengenang masa muda, tetapi juga merayakan proses menjadi. “Usia tidak usah dihitung. Itu hanya deretan angka,” ucapnya ringan.
Ia mengajak semua yang hadir untuk menepikan hitungan waktu, memeluk tawa, dan menjadikan silaturahmi sebagai energi baru.
Meski rambut tak lagi hitam, dan kulit tak lagi kencang, semangat dan rasa ingin tahu tetap menyala. Novel yang diluncurkan hari itu menjadi saksi bahwa usia tak mampu membatasi kreativitas, apalagi mematikan cahaya imajinasi.
Justru di senja usia, karya bisa menjadi mercusuar menyinari generasi berikutnya.
Di Lawang hari itu, bukan hanya novel yang lahir, tetapi juga keyakinan baru: bahwa menulis adalah cara untuk tetap hidup, meski waktu terus menggerus.
NaiNai Dhodhori bukan sekadar cerita duyung, melainkan cerita tentang warisan ide, tentang darah yang membawa pesan, dan tentang manusia yang tak berhenti menggali makna di kedalaman samudra kehidupan. (Bambang Eko M)