Surabaya, Newsweek - Sidang perkara sengketa kepemilikan saham PT Dharma Nyata Press dengan
nomor perkara 273/Pdt.G/2025/PN.Sby kembali bergulir di Pengadilan Negeri
Surabaya, Selasa (12/8/2025). Perkara ini menguji keabsahan kepemilikan 264
lembar saham yang saat ini disengketakan oleh Nany Widjaja, mantan Direktur PT
Dharma Nyata Press dan PT Jawa Pos.
Dalam sidang kali ini, tim kuasa hukum Penggugat menghadirkan Prof. Dr. Budi
Santoso, SH., LLM, seorang Guru Besar Hukum Perusahaan dari Universitas
Brawijaya, sebagai saksi ahli untuk menjelaskan secara yuridis mengenai tata
cara kepemilikan dan peralihan saham dalam perseroan terbatas.
Di hadapan majelis hakim, Prof. Budi menegaskan bahwa sesuai ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hanya dikenal
satu jenis saham, yaitu saham atas nama, bukan saham atas unjuk.
“Peralihan saham harus dilakukan secara tertulis, dan harus bisa dibuktikan
asal-usul peralihannya. Meskipun tidak wajib menggunakan akta notaris, akta
tersebut penting untuk pencatatan dalam daftar pemegang saham, yang kemudian
dilaporkan ke Kementerian Hukum dan HAM,” jelas Prof. Budi.
Ia juga menekankan bahwa bentuk peralihan saham yang sah menurut hukum hanya
ada tiga, yaitu, Jual beli, Hibah dan Pewarisan
Di luar itu, ia belum pernah menemukan dasar hukum yang dapat melegitimasi
bentuk peralihan lainnya.
Ketika ditanya mengenai pengambilan saham atau dividen oleh pihak lain tanpa
persetujuan pemilik yang sah, Prof. Budi menegaskan bahwa hal tersebut adalah
perbuatan melawan hukum (PMH).
“Jika deviden yang menjadi hak pemegang saham sah diambil oleh pihak lain tanpa
dasar hukum atau persetujuan, maka itu jelas PMH,” tegasnya.
Sidang juga menyoroti soal Akta Pernyataan, yang menjadi salah satu bukti
penting dalam perkara ini. Tergugat mempertanyakan apakah akta semacam itu
dapat digunakan untuk menggugat pihak lain dalam konteks perbuatan melawan
hukum.
Prof. Budi menegaskan bahwa, Akta pernyataan adalah sepihak, dan bukan
perjanjian. Akta tersebut tidak dapat diuji menggunakan Pasal 1320 KUHPerdata,
karena pasal tersebut mengatur syarat sahnya perjanjian, bukan pernyataan
sepihak. Yang bertanggung jawab atas isi Akta Pernyataan adalah pihak yang
membuatnya sendiri, bukan pihak lain yang tidak disebut dalam akta tersebut.
“Jika seseorang membuat akta pernyataan secara sepihak, dan merasa isinya kemudian
merugikan dirinya, maka dia tidak bisa menggugat orang lain atas dasar
pernyataan yang dia buat sendiri,” ujar Prof. Budi.
Terkait pertanyaan dari Tergugat mengenai tindakan seorang direksi yang membeli
aset menggunakan uang perusahaan tetapi atas nama pribadi, Prof. Budi
menyatakan hal tersebut tidak diperbolehkan secara hukum,
“Kalau itu terjadi, maka perseroan sebagai badan hukum yang dirugikan berhak
menggugat,” tegasnya.
Menjawab pertanyaan Tergugat seputar mekanisme gugatan sah atas perjanjian jual
beli saham, ahli menjelaskan bahwa dalam kasus perjanjian jual beli, pihak yang
bertanggung gugat adalah penjual dan pembeli, bukan pihak ketiga.
“Jika ingin mengesahkan jual beli saham lewat pengadilan, maka pihak penjual
harus ikut ditarik sebagai pihak dalam gugatan. Tidak bisa hanya menggugat
pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam perjanjian tersebut,” jelas
Prof. Budi.
Usai persidangan, kuasa hukum Nany Widjaja, Richard Handiwiyanto, menyatakan
bahwa keterangan ahli memperkuat posisi kliennya sebagai pemilik sah saham.
“Tanpa harus menelusuri siapa yang menyetor, yang jelas bahwa kepemilikan saham
ada pada Bu Nany. Maka dividen juga merupakan hak beliau. Jika diambil pihak
lain, itu masuk ke ranah PMH,” ujarnya kepada media.
Sementara itu, kuasa hukum PT. Jawa Pos, EL Sayogo menjelaskan bahwa dalam
sidang hari ini, pihaknya menanyakan satu hal yang sangat prinsipil kepada
ahli, yakni: apakah seseorang yang membuat pernyataan secara pribadi, kemudian
merasa bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan hukum, boleh menggugat
pihak lain atas pernyataan yang ia buat sendiri?
Menurut EL Sajogo, pertanyaan tersebut dijawab secara tegas oleh ahli bahwa hal
itu tidak diperbolehkan. Jika seseorang membuat suatu pernyataan, maka yang
bertanggung jawab atas pernyataan tersebut adalah dirinya sendiri. Tidak dapat
dibenarkan apabila orang tersebut kemudian berupaya meminta orang lain
menanggung akibat dari pernyataan yang ia buat secara sadar dan sukarela. Itu
tidak logis secara hukum, dan tidak memiliki relevansi.
Dalam konteks gugatan ini, lanjut EL Sajogo, Ibu Nany Widjaja membuat sebuah
pernyataan yang belakangan ia anggap sebagai kesalahan. Namun, justru Jawa Pos
yang digugat atas kesalahan yang sebenarnya dilakukan oleh dirinya sendiri. Hal
ini, menurut kami, jelas tidak tepat dan patut untuk dinyatakan ditolak oleh
majelis hakim.
Perlu diketahui, Ibu Nany bukanlah sosok yang tidak memahami persoalan. Ia
adalah pribadi yang berpendidikan, memahami dunia bisnis, serta telah lama
menjabat sebagai Direktur di Jawa Pos dan juga di majalah Nyata. Dalam
kapasitas itu, ia telah menjalankan perannya selama bertahun-tahun secara
profesional.
Bahkan, bila selama bertahun-tahun ia secara sukarela menyerahkan dividen
kepada pihak lain, meskipun secara formal dividen tersebut atas nama dirinya,
maka menurut ahli hal itu menunjukkan adanya relasi kekuasaan antara atasan dan
bawahan. Siapa atasan dan siapa bawahan dalam konteks ini tentu sudah jelas.
Jika memang Jawa Pos adalah pihak yang di atas, dan ia memberikan kembali
kepada Jawa Pos, maka hal itu adalah sesuatu yang wajar dan selayaknya terjadi
dalam sebuah struktur korporasi.
Apalagi, Ibu Nany diberi kepercayaan sebagai Direktur untuk mengembangkan
perusahaan, yang pada dasarnya adalah milik Jawa Pos. Oleh karena itu, menurut
EL Sajogo, klaim bahwa dividen atau kepemilikan tersebut sepenuhnya miliknya
secara pribadi, adalah sesuatu yang tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan
secara hukum. (Ban)