Surabaya, Newsweek - Sidang gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan Nany Widjaja terhadap PT Jawa Pos dan Dahlan Iskan kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya pada Rabu (10/9/2025). Persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Soetrisno ini menghadirkan saksi dari pihak tergugat, yakni Suhardjo Basuki, mantan Wakil Direktur Keuangan PT Jawa Pos.
Suhardjo, yang bergabung dengan PT Jawa Pos sejak tahun 1984, memberikan keterangan terkait struktur kepemilikan dan transaksi keuangan yang menjadi pokok perkara. Ia menyebutkan bahwa Dahlan Iskan, selaku pimpinan saat itu, memiliki kendali penuh dalam pengambilan keputusan strategis, termasuk terkait kepemilikan saham di PT Dharma Nyata Press.
“Sebagai pimpinan, beliau (Dahlan Iskan) memegang kendali dan memiliki kewenangan dalam menentukan arah kepemilikan saham,” ujar Suhardjo di hadapan majelis hakim.
Saat ditanya mengenai pembayaran sebesar Rp648 juta oleh PT Jawa Pos kepada Ned Sakdani dan Anjar Any, Suhardjo menegaskan bahwa dirinya hanya mengetahui PT Jawa Pos sebagai pihak yang mengeluarkan dana. Ia tidak mengetahui dengan pasti kepada siapa dana tersebut berpindah setelah penyerahan dilakukan.
Tim kuasa hukum Nany Widjaja turut mengonfirmasi adanya aliran dana pengembalian sebesar Rp648 juta dari PT Dharma Nyata Press ke PT Jawa Pos, yang dibayarkan secara bertahap dari November 1998 hingga April 1999. Namun Suhardjo menyatakan tidak pernah melihat transaksi masuk tersebut.
“Kalau pun ada dana masuk, kemungkinan itu bersumber dari dividen, bukan pengembalian,” jelas Suhardjo.
Kuasa hukum Nany Widjaja, Richard Handiwiyanto, meragukan validitas pernyataan saksi yang mengklaim PT Dharma Nyata Press merupakan milik PT Jawa Pos hanya berdasarkan asumsi pengeluaran dana dan pembagian dividen.
“Kalau saksi tidak mengetahui aspek legalitas, lantas mengapa berani menyatakan kepemilikan secara legal? Dasar hukum kepemilikan perseroan harus mengacu pada dokumen resmi, bukan asumsi atau kesimpulan pribadi,” ujar Richard usai sidang.
Ia menegaskan bahwa dalam hukum korporasi, kepemilikan tidak bisa ditentukan hanya dari siapa yang mengeluarkan uang, tetapi harus dibuktikan melalui akta dan dokumen sah yang telah disahkan.
Sementara itu, kuasa hukum Dahlan Iskan, Yasin N. Alamsyah, menilai keterangan saksi justru menguatkan posisi kliennya sebagai tokoh sentral di PT Jawa Pos.
“Dari keterangan saksi, terlihat jelas bahwa Pak Dahlan adalah figur utama yang membesarkan PT Jawa Pos. Ini menjadi pengakuan penting atas peran dan kontribusinya selama ini,” kata Yasin.
Yasin juga menyinggung soal rencana go public PT Jawa Pos yang sempat dibahas dalam RUPS tahun 2001. Ia menegaskan bahwa dokumen-dokumen administratif yang dibuat dalam rangka persiapan tersebut, termasuk surat kuasa dan akta-akta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena rencana tersebut tidak pernah terealisasi.
“Seluruh dokumen itu bersifat persiapan. Tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk menuding adanya tindakan melawan hukum di kemudian hari,” tegasnya.
Kuasa hukum PT Jawa Pos, Eleazer Leslie Sayogo, menyatakan bahwa fakta bahwa Jawa Pos mengeluarkan dana untuk pembelian saham PT Dharma Nyata Press memperkuat posisi tergugat.
“Saksi menyampaikan bahwa karena dana dikeluarkan oleh Jawa Pos, maka wajar jika disebut sebagai pembeli. Ini sejalan dengan pernyataan Dahlan Iskan dalam RUPS yang menyebut PT Dharma Nyata Press sebagai anak perusahaan Jawa Pos,” ujar Eleazer. (Ban)