HET Beras Sengsarakan Kalangan Petani

EKONOMI - Pengamat pertanian Prof Dr. Andreas Dwi Santosa menilai penetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk komoditas beras kualitas medium dan premium, dalam upaya untuk mempertahankan daya beli masyarakat dan mengendalikan tingkat inflasi, sangat menyengsarakan kalangan petani.

"Penetapan HET sama sekali tidak masuk akal karena mengingkari keseimbangan harga yang saat ini sudah terbentuk secara alamiah," kata Andreas seusai diskusi dan bedah buku "Krisis Pangan dan 'Sesat Pikir': Mengapa Masih Berlanjut" di Kampus UI, Depok, Rabu (20/9).

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB itu menilai keseimbangan atau ekuilibrium harga yang sudah terbentuk secara alamiah berdasarkan suplai dan permintaan beras medium dan premium berada di kisaran Rp10.500-Rp10.900 per kilogram untuk rata-rata nasional. "Sekarang pemerintah tiba-tiba mengeluarkan kebijakan dengan menjatuhkan harga itu semua menjadi Rp9.450 per kg, di wilayah produsen, yaitu Jawa dan sebagian Sumatera. Ini mengingkari perkembangan yang ada," ungkap dia.

Andreas mengatakan akibat diterapkannya aturan HET beras yang baru itu, maka petani bisa dipastikan sebagai pihak yang paling menderita. Selain terbentur dengan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah yang rendah, petani juga harus menutupi biaya produksi termasuk penggilingan dan transportasi yang tidak kecil.

"Margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) petani itu hanya 10,57, tidak besar, sehingga kalau itu ditekan ke bawah, kerugian ditransformasi kemana? Ya petani. Jadi ini betul-betul kebijakan yang akan sangat menyengsarakan petani," ujar dia.

Salah seorang petani asal Indramayu, Abbas, yang hadir dalam diskusi, menegaskan penolakan terhadap kebijakan tersebut."Sebagai petani, kami menolak aturan harga beras. Bayangkan harga berasnya Rp9.450 per kg tapi harga gabahnya tidak naik. Kalau kami olah, kami tidak dapat apa-apa," ujarnya seperti dikutip Antara.

Penetapan HET untuk komoditas beras kualitas medium dan premium diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras dan telah diterapkan sejak awal September. Penetapan HET beras kualitas medium untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Rp9.450 per kilogram dan Rp12.800 untuk jenis premium.

Wilayah Sumatera, tidak termasuk Lampung dan Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan untuk beras kualitas medium Rp9.950 dan premium 13.300 per kilogram. Untuk Maluku, termasuk Maluku Utara dan Papua, HET beras kualitas medium Rp10.250 per kilogram dan premium Rp13.600.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan menyatakan kebijakan pemerintah menerapkan harga eceran tertinggi (HET) beras harus diimbangi dengan pemantauan secara berkesinambungan.

Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (19/9), Daniel mengatakan pemantauan berkesinambungan itu untuk memastikan tidak adanya pelanggaran oleh pedagang nakal dalam menjual beras medium dan premium di atas HET."Ya, pemerintah wajib melakukan inspeksi," ujar politisi asal Daerah Pemilihan Kalimantan Barat itu.

Dia menilai, kebijakan HET beras sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017 tidak akan merugikan siapa pun, karena tidak memungkinkan terjadi gejolak serta ada kepastian harga yang terjangkau.

Pedagang beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta Billy Haryanto menyatakan, dengan adanya regulasi HET beras, juga berdampak positif terhadap distribusi beras dari petani hingga ke masyarakat sebab membuat pedagang nakal berpikir ulang untuk menimbun beras. Selain itu, kebijakan HET beras juga tidak membuat harga beras 'liar' seperti yang sudah-sudah, yaitu selalu turun kala hasil panen berlimpah dan meroket saat ketersediaannya terbatas.

Dia mencontohkan dengan harga beras medium dan premium yang dijual di PIBC jenis medium dijual pada kisaran Rp8.900-Rp9.000/kg dan premium rata-rata Rp10.000/kg. Menurut dia, semenjak HET berlaku pasokan beras ke PIBC tidak mengalami penurunan, masih sama kondisinya seperti sebelumnya, yakni sekitar 4.000-an. (nrc)
Lebih baru Lebih lama
Advertisement