Penegak Hukum Dianggap Melanggar HAM, Buntut Harjono Sugianto Divonis 27 Bulan

Insert : Dr.Gansham Anand,SH.MKn, staf pengajar FH Universitas Airlangga.

SURABAYA – Dr.Gansham Anand,SH.MKn, staf pengajar FH Universitas Airlangga menegaskan, “ penegak hukum seperti; Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan semestinya tidak boleh mengajukan perkara pidana yang perkara perdata diajukan lebih dulu di Pengadilan. Sebab, dimungkinkan sekali perkara pidananya tidak sama dengan perkara perdatanya. Kalau tidak sama, berarti perkara perdatanya dikabulkan oleh majelis hakimnya. Artinya, penegak hukum tersebut bisa dianggap melakukan pelanggaran HAM (hak asasi manusia).Jangankan vonisnya tahunan atau bulanan. Sehari saja dilakukan penahanan terhadap terdakwanya, bisa dikategorikan sebagai melanggar HAM,” demikian menjawab pertanyaan melalui selulernya, Rabu, (18/12).

Apalagi, ada aturan hukum yang menjadi pijakannya, yakni; PERMA RI (Peraturan Mahkamah Agung) No.1 tahun 1956, pasal 1. “ Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu ”. Ironisnya, aparat penegak hukum seringkali tetap memaksakan kehendaknya dengan mengajukan perkara pidananya tetap dilanjutkan dan tidak menangguhkan dulu perkara pidananya, terang Gansham.  

Dia mengaku heran atas tindakan oknum aparat penegak hukum, yang tetap memproses kasus pidana meskipun dalam kasus perdata tengah disidangkan di pengadilan. Penundaan tersebut bukan berarti menghapus atau menghentikan perkaranya, tapi memberikan kesempatan pada kasus perdata untuk dituntaskan lebih dulu agar tidak sampai melakukan pelanggaran HAM. Pengajar mata kuliah hukum perdata ini, menengarai banyak kasus-kasus perdata, dijadikan atau diubah menjadi kasus pidana karena ketidakcermatan penasehat hukumnya dalam mengurai kasus yang ditanganinya. Oleh sebab itu, penasehat hukumnya harus cermat dalam menangani perkara perdata kliennya dengan menyajikan bukti-bukti formil yang mutlak yang dimiliki agar diterima permohonan gugatannya, terang Gansham.

Pada bagian lainnya, penasehat hukum Harjono Sugianto, Chrisman Hadi yang dihubungi Kamis, (26/12) menyatakan “Kami berpandangan bahwa vonis pidana terhadap klien saya, Harjono Sugianto, telah menabrak ketentuan PERMA No.1 tahun 1956, pasal 1. Sebab, klien saya sudah mengajukan gugatan perdata di PN Surabaya dan sudah dalam proses persidangan duluan”.  Hal ini juga senada dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.528 K/Pid.1984 dan UU No.5 tahun 2005 tentang pengesahan Internasional Covenan on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), jelas Chrisman.

Terus terang, saya tidak habis pikir terhadap oknum aparat penegak hukum yang menangani perkara pidana terhadap kliennya yang segera dilimpahkan di pengadilan dan dijatuhkan vonisnya. Padahal, masih kata Advokat yang merangkap sebagai Ketua DKS (Dewan Kesenian Surabaya) saya sudah memberitahukan kepada aparat penegak hukum,bahwa kliennya masih mengajukan upaya hukum melalui gugatan perdata. “Kalau upaya hukum yang kami diajukan dikabulkan oleh majelis hakim yang menyidangkan perkara itu, maka pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum di Surabaya semakin nyata,” tandasnya.

Pada bagian lainnya, Humas PN Surabaya, Sigit Sutriono, SH.MH yang dihubungi S.Newsweek untuk konfirmasi melalui WA-nya, Senin, (23/12) dengan mengajukan pertanyaan terkait putusan pidana yang mendahului perkara perdata yang disidangkan lebih dulu hingga berita ini diturunkan tidak menjawab. Pertanyaan yang diajukan hanya di lihat saja, ditandai dengan centeng biru yang terdapat pada ponselnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Harjono Sugianto salah satu pemilik toko Ojo Lali di jalan Kedungdoro 16 Surabaya, di dakwa telah melanggar pasal 374 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP di persidangan sebelumnya, dituntut 3 tahun 6 bulan penjara oleh, Amelia selaku, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Perak Surabaya, kembali jalani sidang  agenda nota pembelaan (pledoi) dan berlanjut dengan amar putusan selama 27 bulan penjara. Hakim tidak mempertimbangkan PERMA No.1 tahun 1956, adanya perkara perdata yang sedang berjalan.

Atas amar putusan tersebut, terdakwa langsung menyatakan banding usai Maxi Sigarlaki selaku, Majelis Hakim  menjatuhkan amar putusannya. Dalam perkara ini, sebelumnya Harjono Sugianto melakukan gugatan perdata karena statusnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Tanjung Perak Surabaya. Gugatan perdata Harjono Sugianto kini masih memasuki agenda kesimpulan.Sayangnya, meski gugatan perdata memasuki agenda kesimpulan di sisi yang lain, proses sidang pidana terdakwa terus bergulir hingga vonis 27 bulan dijatuhkan terhadap terdakwa di ruang Sari Pengadilan Negeri Surabaya, pada Kamis (12/12/2019) dan akan diputuskan Rabu, tanggal 8 Januari 2020. 

Sebelum vonis dijatuhkan terhadap terdakwa tampak Chrisman Hadi selaku, Penasehat Hukum terdakwa menyampaikan nota pembelaannya berupa, kliennya pemilik toko Ojo Lali terdapat hubungan keperdataan atau hubungan bisnis dengan CV. mitra Makmur. Atas hubungan bisnis kliennya terdapat hutang dagang. Berdasar hutang dagang sebagaimana yang dimaksud, kliennya pada (13/7/2018) telah mengembalikan uang sebesar Rp.53 juta dan tanggal (14/7/2018) sebesar Rp.100 juta serta pengembalian 300 unit accu kepada CV. Mitra Makmur. Hal lain yang disampaikan dalam pledoi yaitu, pasal 374 juncto pasal 65 ayat (1) KUHP yang didakwakan JPU terhadap klienya tidak terbukti.

Secara terpisah, Chrisman Hadi selaku, Penasehat Hukum terdakwa, kepada Soerabaia Newsweek, mengatakan, sebelum kliennya dihadapkan ke meja hijau telah mengajukan gugatan perdata namun, gugatan perdata yang dilakukan tidak menjadi pertimbangan Majelis Hakim untuk menunda putusan sebagaimana dalam ketentuan pasal 1 PERMA no.1 tahun 1956. Dia mengaku kecewa atas putusan itu, sebab bagaimana, jika gugatan perdata yang diajukan dikabulkan oleh majelis hakim yang menyidangkan, ucapnya dengan nada tanya.

 Apakah putusan perkara pidana tersebut bukan melakukan pelanggaran HAM berat, kalau permohonan klien kami dalam perkara perdata dikabulkan oleh majelis hakimnya katanya menegaskan. Makanya, dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1956 untuk menghindarkan kemungkinan majelis hakim yang menyidangkan perkara perdata dan pidana untuk mendahulukan perkara perdatanya dulu agar terhindarkan dari pelanggaran HAM. Atas amar putusan yang dijatuhkan terhadap kliennya, Chrisman Hadi melakukan upaya hukum banding, pungkas Chrisman. (Ban)
Lebih baru Lebih lama
Advertisement