SURABAYA –
Dr.Gansham Anand,SH.MKn, staf pengajar FH Universitas Airlangga menegaskan, “
penegak hukum seperti; Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan semestinya tidak
boleh mengajukan perkara pidana yang perkara perdata diajukan lebih dulu di
Pengadilan. Sebab, dimungkinkan sekali perkara pidananya tidak sama dengan
perkara perdatanya. Kalau tidak sama, berarti perkara perdatanya dikabulkan
oleh majelis hakimnya. Artinya, penegak hukum tersebut bisa dianggap melakukan
pelanggaran HAM (hak asasi manusia).Jangankan vonisnya tahunan atau bulanan.
Sehari saja dilakukan penahanan terhadap terdakwanya, bisa dikategorikan
sebagai melanggar HAM,” demikian menjawab pertanyaan melalui selulernya, Rabu,
(18/12).
Apalagi, ada aturan hukum yang menjadi pijakannya, yakni;
PERMA RI (Peraturan Mahkamah Agung) No.1 tahun 1956, pasal 1. “ Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana
harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang
suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana
dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan
perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu ”.
Ironisnya, aparat penegak hukum seringkali tetap memaksakan kehendaknya dengan
mengajukan perkara pidananya tetap dilanjutkan dan tidak menangguhkan dulu
perkara pidananya, terang Gansham.
Dia mengaku heran atas tindakan oknum aparat penegak
hukum, yang tetap memproses kasus pidana meskipun dalam kasus perdata tengah
disidangkan di pengadilan. Penundaan tersebut bukan berarti menghapus atau
menghentikan perkaranya, tapi memberikan kesempatan pada kasus perdata untuk
dituntaskan lebih dulu agar tidak sampai melakukan pelanggaran HAM. Pengajar
mata kuliah hukum perdata ini, menengarai banyak kasus-kasus perdata, dijadikan
atau diubah menjadi kasus pidana karena ketidakcermatan penasehat hukumnya
dalam mengurai kasus yang ditanganinya. Oleh sebab itu, penasehat hukumnya
harus cermat dalam menangani perkara perdata kliennya dengan menyajikan
bukti-bukti formil yang mutlak yang dimiliki agar diterima permohonan
gugatannya, terang Gansham.
Pada bagian lainnya, penasehat hukum Harjono Sugianto,
Chrisman Hadi yang dihubungi Kamis, (26/12) menyatakan “Kami berpandangan bahwa
vonis pidana terhadap klien saya, Harjono Sugianto, telah menabrak ketentuan
PERMA No.1 tahun 1956, pasal 1. Sebab, klien saya sudah mengajukan gugatan
perdata di PN Surabaya dan sudah dalam proses persidangan duluan”. Hal ini juga senada dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No.528 K/Pid.1984 dan UU No.5 tahun 2005 tentang pengesahan Internasional Covenan on Civil and Political
Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), jelas
Chrisman.
Terus terang, saya tidak habis pikir terhadap oknum
aparat penegak hukum yang menangani perkara pidana terhadap kliennya yang
segera dilimpahkan di pengadilan dan dijatuhkan vonisnya. Padahal, masih kata
Advokat yang merangkap sebagai Ketua DKS (Dewan Kesenian Surabaya) saya sudah
memberitahukan kepada aparat penegak hukum,bahwa kliennya masih mengajukan
upaya hukum melalui gugatan perdata. “Kalau upaya hukum yang kami diajukan
dikabulkan oleh majelis hakim yang menyidangkan perkara itu, maka pelanggaran
HAM oleh aparat penegak hukum di Surabaya semakin nyata,” tandasnya.
Pada bagian lainnya, Humas PN Surabaya, Sigit Sutriono,
SH.MH yang dihubungi S.Newsweek untuk
konfirmasi melalui WA-nya, Senin, (23/12) dengan mengajukan pertanyaan terkait
putusan pidana yang mendahului perkara perdata yang disidangkan lebih dulu
hingga berita ini diturunkan tidak menjawab. Pertanyaan yang diajukan hanya di
lihat saja, ditandai dengan centeng biru yang terdapat pada ponselnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Harjono Sugianto salah
satu pemilik toko Ojo Lali di jalan Kedungdoro 16 Surabaya, di dakwa telah
melanggar pasal 374 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP di persidangan
sebelumnya, dituntut 3 tahun 6 bulan penjara oleh, Amelia selaku, Jaksa
Penuntut Umum dari Kejaksaan Perak Surabaya, kembali jalani sidang agenda
nota pembelaan (pledoi) dan berlanjut dengan amar putusan selama 27 bulan
penjara. Hakim tidak mempertimbangkan PERMA No.1 tahun 1956, adanya perkara
perdata yang sedang berjalan.
Atas amar putusan tersebut, terdakwa langsung menyatakan
banding usai Maxi Sigarlaki selaku, Majelis Hakim menjatuhkan amar
putusannya. Dalam perkara ini, sebelumnya Harjono Sugianto melakukan gugatan
perdata karena statusnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Tanjung Perak
Surabaya. Gugatan perdata Harjono Sugianto kini masih memasuki agenda
kesimpulan.Sayangnya, meski gugatan perdata memasuki agenda kesimpulan di sisi
yang lain, proses sidang pidana terdakwa terus bergulir hingga vonis 27 bulan
dijatuhkan terhadap terdakwa di ruang Sari Pengadilan Negeri Surabaya, pada
Kamis (12/12/2019) dan akan diputuskan Rabu, tanggal 8 Januari 2020.
Sebelum vonis dijatuhkan terhadap terdakwa tampak
Chrisman Hadi selaku, Penasehat Hukum terdakwa menyampaikan nota pembelaannya
berupa, kliennya pemilik toko Ojo Lali terdapat hubungan keperdataan atau
hubungan bisnis dengan CV. mitra Makmur. Atas hubungan bisnis kliennya terdapat
hutang dagang. Berdasar hutang dagang sebagaimana yang dimaksud, kliennya pada
(13/7/2018) telah mengembalikan uang sebesar Rp.53 juta dan tanggal (14/7/2018)
sebesar Rp.100 juta serta pengembalian 300 unit accu kepada CV. Mitra Makmur.
Hal lain yang disampaikan dalam pledoi yaitu, pasal 374 juncto pasal 65 ayat
(1) KUHP yang didakwakan JPU terhadap klienya tidak terbukti.
Secara terpisah, Chrisman Hadi selaku, Penasehat Hukum
terdakwa, kepada Soerabaia Newsweek, mengatakan, sebelum kliennya
dihadapkan ke meja hijau telah mengajukan gugatan perdata namun, gugatan
perdata yang dilakukan tidak menjadi pertimbangan Majelis Hakim untuk menunda
putusan sebagaimana dalam ketentuan pasal 1 PERMA no.1 tahun 1956. Dia mengaku
kecewa atas putusan itu, sebab bagaimana, jika gugatan perdata yang diajukan
dikabulkan oleh majelis hakim yang menyidangkan, ucapnya dengan nada tanya.
Apakah putusan
perkara pidana tersebut bukan melakukan pelanggaran HAM berat, kalau permohonan
klien kami dalam perkara perdata dikabulkan oleh majelis hakimnya katanya
menegaskan. Makanya, dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 1956
untuk menghindarkan kemungkinan majelis hakim yang menyidangkan perkara perdata
dan pidana untuk mendahulukan perkara perdatanya dulu agar terhindarkan dari
pelanggaran HAM. Atas amar putusan yang dijatuhkan terhadap kliennya, Chrisman
Hadi melakukan upaya hukum banding, pungkas Chrisman. (Ban)
0 Komentar