Data Gakin Surabaya Disoal Dewan

Surabaya Newsweek- Untuk menghindari carut marut pembagian Beras Miskin (Raskin) dan pelayanan Jamkesmas di Surabaya, DPRD Surabaya meminta agar Bapemas, Dinas Kesehatan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Tenaga Kerja dan Bappeko bekerja bersama-sama untuk terus melakukan update data keluarga miskin secara periodic yang kemudian diserahkan ke BPS agar dijadikan sebagai acuan untuk program-program yang bersifat nasional.

Sudah waktunya Kota Surabaya mempunyai data kemiskinan sendiri, yang teruji, faktual, dan kontekstual untuk kondisi warga Kota Surabaya. Data ini dihimpun Pemkot Surabaya dengan melibatkan peneliti kemiskinan atau perguruan tinggi yang kredibel. Data juga selalu di-up date. Data kemiskinan itu yang menjadi basis kebijakan pemerintah untuk penanganan kemiskinan di Kota Surabaya, bersifat faktual: by name, by address.

Karena, selama ini, agaknya data kemiskinan di Kota Surabaya bertumpu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), dimana survei di lapangannya tidak tepat sasaran, untuk konteks kemiskinan Kota Surabaya. Akibatnya, kebijakan pemerintahan pun tidak tepat sasaran, bahkan memicu konflik atau paling tidak ketegangan antarwarga, atau antara pengurus kampung dengan warga.

Dikatakan Adi Sutarwidjono (Awi) bahwa, kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kota Surabaya, membutuhkan indikator-indikator kemiskinan harus tepat, berbasis kondisi warga Kota Surabaya kerana, indikator-indikator kemiskinan yang dipakai BPS bersifat nasional.

“Saya beri contoh, keluarga berpenghasilan Rp 800 ribu di Kota Surabaya, untuk kondisi kehidupan sehari-hari di Kota Surabaya, layak dikategorikan  miskin. Tapi, menurut indikator BPS, tidak termasuk miskin, karena indikator yang dipakai lebih rendah dari itu, yaitu berpenghasilan Rp 600 ribu / bulan,” jelasnya.

Masih Awi, Kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kota Surabaya harusnya ,berorientasi pada growth (pertumbuhan) dan akselerasi. Bukan hanya berorientasi pada besarnya serapan anggaran, yang telah didistribusikan kepada keluarga miskin, sebagaimana diterapkan birokrasi dan dilaporkan setiap tahun dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota kepada DPRD.

Maksud  orientasi growth dan akselerasi yakni target berapa banyak keluarga miskin yang berhasil dientas atau dimandirikan akibat intervensi kebijakan pemerintahan yang skematis. Sebaliknya, jika hanya berorientasi pada serapan anggaran, seperti dilaporkan pemerintah kota selama ini kira-kira berbunyi: sekian miliar rupiah telah dihabiskan untuk sekian banyak jumlah keluarga miskin. Tidak diketahui apakah dari dana kemiskinan yang dihabiskan itu telah berhasil mengentas sejumlah keluarga miskin menjadi berdaya atau mandiri.

Dijelaskan Awi bahwa penanggulangan kemiskinan harus link and match, yakni melibatkan secara sinergis sejumlah instansi terkait yang berkompeten, dimana semuanya menerapkan kebijakan di sektornya masing-masing, secara bersama-sama dan simultan, dengan target penanganan dan pengentasan kemiskinan. Instansi-instansi yang bekerja dalam skema link and match itu, misalnya, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Bapemas, Dinas Kesehatan, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Tenaga Kerja dan Bappeko. Ringkasnya, mereka bekerja keroyokan dalam grand design kebijakan untuk menangani dan mengentas warga miskin, seperti data yang dimiliki Pemerintah Kota Surabaya.

Kemudian, Lanjut Awi agar, penanganan dan pengentasan kemiskinan itu tepat sasaran dan terukur, maka sangat dibutuhkan monitoring dan evaluasi secara terus-menerus. Karena, asumsi dan faktanya, kehidupan keluarga miskin bersifat bergantung atau tidak mandiri. Kalau mereka dibiarkan sendiri, tanpa pendampingan, maka berapa pun anggaran yang dihabiskan, tidak akan memberikan hasil yang terukur dan baik.

“Kekacauan dari pemberian raskin dan Jamkesmas pada para keluarga miskin di Kota Surabaya selama ini, seperti dilansir Pak Sutadi dari Gerindra, hanyalah penampakan luar dari kebijakan penanganan kemiskinan yang tidak disertai strategi serius dan sistematis,” tambahnya. ( Ham )
Lebih baru Lebih lama
Advertisement