Surabaya
Newsweek – Hubungan yang tidak kondusif antara Satpol PP dengan DPRD Kota
Surabaya selama ini terus berlanjut, dengan tupoksi masing- masing untuk
menjalankan kinerjanya, namun tujuanya selalu bersebrangan, yang lebih parah
lagi terjadi insiden saling adu mulut antara Petugas Satpol PP dengan Ketua
komisi D DPRD Surabaya dilapangan, saat penertiban pedagang pasar tumpah di
kawasan pasar tembok.
Mengaku
diperlakukan kasar oleh petugas lapangan Satpol PP Surabaya, Agustin Poliana
ketua komisi D DPRD Surabaya, didampingi sejumlah anggota lainnya mendatangi Mako
Satpol PP di Jl Jagung Soeprapto
Surabaya, dengan tujuan meminta penjelasan.
Agustin
Poliana ketua komisi C DPRD Surabaya asal PDIP, mendatang ruang Armuji ketua
DPRD Surabaya, dengan tujuan melaporkan kejadian yang dialaminya, saat mencoba
untuk menghalangi petugas Satpol-PP, yang sedang melakukan kegiatan penertiban
di Pasar Tembok.
Merasa
tidak terima dengan perlakuan sejumlah Satpol PP, yang dianggap menganiaya dan
melecehkan, yang mengaku ditarik- tarik dan mendapat jawaban yang kasar dari
anggota Satpol PP, akhirnya Agustin Poliana yang didampingi oleh Wakil Ketua
DPRD Surabaya Masduki Toha, bersama anggota rombongan dewan mendatangi mako
Satpol PP Surabaya di Jalan Agung Soeprapto.
Saat
itu juga digelar pertemuan, Masduki Toha mengawali pembicaraan dengan pesan
agar, persoalan yang terjadi bisa diselesaikan secara kekeluargaan, karena jika
tidak akan menyangkut nama baik institusi masing masing.
Saat
diberikan waktu untuk berbicara, Agustin Poliana menceritakan bahwa, dirinya
tidak terima dengan perlakukan dan ucapan anggota Satpol-PP yang terkesan
melecehkan intitusinya sebagai anggota dewan.
“yang
saya persoalkan, sebagai anggota dewan merasa dilecehkan, artinya, sama dengan
melecehkan lembaga DPRD, karena saya dikatakan sebagai “anggota dewan taek”,
permintaan maaf memang sudah dilakukan saat itu dilapangan, namun say, juga
tidak ingin sikap arogan ini kembali terjadi, apalagi terhadap masyarakat
biasa, lha wong saya yang anggota dewan saja diperlakukan seperti itu, meskipun
tak satupun anggota Satpol PP yang mengakui melakuan penendangan, tetapi
buktinya anak saya kakinya terluka. ” ucapnya.
Sementara
Sukadar ketua FPDIP, yang turut mendampingi mengatakan,” sebagai ketua fraksi
saya turut merasakan karena, kami dengan Agustin Poliana dalam satu naungan,
laporannya di tarik kanan kiri, jadi asumsi saya ada penganiayaan, dan kami
meminta untuk segera diselesaikan sebagaimana mestinya,” tegas anggota komisi C
ini.
Lain
lagi dengan Adi Sutarwijono wakil ketua komisi A asal PDIP, yang terkesan,
landai dalam menyikapi laporan salah satu rekan se partainya, dirinya meminta
agar, terjadi nislah antar keduanya.
“saya
mendorong untuk terjadinya saling memaafkan, anggap saja sebagai miskomunikasi,
bagaimanapun juga keberadaan Satpol PP juga sangat diperlukan, jadi saling
menjaga itu perlu,” tanggapnya.
Demikian
juga dengan Saifudin Zuhri ketua komisi C DPRD Surabaya, agar Satpol-PP tidak
lagi bertindak kasar kepada siapapun, dengan cara lebih memahami tupoksinya.
“Kedatangan
kami ini berharap agar, Satpol PP memahami kinerjanya dilapangan apalagi,
berkaitan dengan keberadaan warga, saat ini terjadi kepada salah satu anggota
dewan,” ucapnya.
Namun,
Saifudin sepakat jika persoalan yang terjadi diselesaikan dengan saling
memaafkan, hanya saja tidak boleh diwakili, meskipun, itu dari pimpinannya,
tetapi langsung dari pelakunya.
Sementara
Eddy Rachmat politisi asal partai Hanura justru, menanggapi persoalan yang
terjadi dengan serius dan meminta kepada pimpinan Satpol-PP, untuk memberikan
teguran dan sangsi tegas kepada pelakunya.
“Saya
sangat menyayangkan kejadian ini, karena ternyata laporan jika selama ini
Satpol PP bertindak arogan dan kasar justru menimpa kepada salah satu anggota
kami, untuk itu kami minta pimpinan Satpol PP memberikan sangsi kepada pelaku,”
pintanya.
Sayangnya,
pengakuan Agustin Poliana ini ternyata, sangat berbeda dengan pengakuan sejumlah
anggota Satpol-PP, yang terlibat dalam insiden tersebut, menurutnya tidak
pernah terjadi penganiayaan, dan yang benar adalah dirinya berusaha untuk
membawa Agustin ke dalam truck untuk di bawa ke Mako.
“Sebagai
anggota yang sedang bertugas dilapangan, kami tidak percaya begitu saja atas
pengakuannya sebagai anggota dewan, karena, sikap dan prilakunya tidak
menunjukkan seseorang yang berpendidikan, dengan bukti kalimat yang diucapkan
adalah, makian kotor, untuk itu kami berusaha menghardik secara baik baik untuk
naik ke armada truck, agar bisa menyampaikan langsung ke pimpinan, tetapi malah
meronta dan terus memaki,” terang Ratna Sari didampingi Dina Natalia, dan Ana
Kristina, yang merupakan anggota Satpol-PP.
Kasusnya
berawal dari kegiatan rutin Satpol PP kota Surabaya terkait penertiban pedagang
pasar tumpah di kawasan pasar tembok, yang selama ini masih dianggap mengganggu
lalu lintas karena, posisinya sering kali menjorok bahkan, menutup jalan.
Awalnya,
langkah penertiban berjalan kondusif karena, pedagang dengan suka rela
memindahkan sekaligus, mengemasi barang dagangannya, setelah dilakukan
pendekatan oleh Satpol PP wanita, yang sengaja dipasang sebagai pasukan
terdepan.
Namun
jelang akhir kegiatan, tiba tiba muncul Agustin Poliana yang spontan berteriak
bahkan, sempat menggebrak mobil truck petugas, yang meminta agar, petugas
menurunkan barang dagangan milik pedagang yang terjaring peneriban.
Keributanpun
tak terhindarkan karena, anggota dewan perempuan asal PDIP ini, terus berteriak
disertai makian kata-kata kotor. Mendapatkan perlakukan ini, sejumlah petugas
spontan beraksi dengan berusaha membawa Agustin Poliana ke salah satu truck
Satpol-PP, dengan tujuan agar, bisa berbicara baik-baik dengan Kasatpol-PP
sebagai atasannya.
“Kejadian
ini muncul saat, kami akan kembali ke Mako karena, kegiatan sudah selesai, tapi
tiba-tiba muncul seorang wanita yang berteriak-teriak dengan perkataan yang
kotor, sembari menggebrak mobil truck dan mengaku sebagai anggota dewan ,,yang
meminta agar, kami mengeluarkan barang bukti, yang kami angkut,” ucap Sari.
Masih
Sari, saat itu juga datang komandan Arfianto yang berusaha mengambil gambarnya,
dengan tujuan menyampaikan ke pimpinan, apakah benar yang bersangkutan adalah
anggota dewan, karena kami memang benar-benar tidak mengetahui, namun spontan
ibu Titin ini menolak difoto dengan cara terkesan, merampas, dan berakibat
jatuhnya HP dan pecah. ( Ham )