Surabaya Newsweek- Aksi
puluhan massa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menolak full day
school di depan gedung DPRD Surabaya, Jawa Timur berujung ricuh, Rabu (8/8)
siang.
Dari pantauan di lapangan, situasi tak
tarkendali itu terjadi saat massa aksi memaksa masuk gedung untuk menemui
anggota dewan. Namun, dilarang belasan personel polisi dari Polrestabes
Surabaya yang mengadang di belakang pintu gerbang.
Aksi saling dorongpun tak bisa dihindari.
Massa makin beringas ketika salah seorang polisi menarik spanduk pendemo.
Bahkan menarik paksa bendera kebesaran PMII Kota Surabaya.
Aksi saling dorong dan adu mulut berlangsung
sekitar 15 menit. Setelah kedua belah melakukan negosiasi, ketegangan
berhasil dikendalikan. Polisi memperkenankan perwakilan pendemo masuk dalam
gedung.
"Dengan adanya Permen Nomor 13/2017, maka
peraturan itu 75 persen akan membunuh pendidikan di pesantren dan Madin
(Madrasah Diniyah) sebagai wadah belajar di lingkungan pesantren," teriak
Korlap Aksi, Hefni Yanto.
Menurut para demonstran, penerapan peraturan
Mendikbud Nomor 13/2017 tentang pendidikan tersebut, jelas akan menguras energi
para siswa dan guru.
"Dengan pendidikan lima hari penuh, maka
terjadi penurunan semangat belajar yang akhirnya menyebabkan stres. Maka jalan
akhirnya adalah main gedget karena guru tak akan fokus mengurusi masalah
itu," tegas Hefni.
Dengan kondisi yang dialami para pelajar
sebagai imbas pendidikan full day school itu, maka terjadilah krisisi moral dan
etika dalam kehidupan sehari-hari. "Jika sudah demikian beban guru dan
peran orang tua makin besar. Maka terjadilah generasi stres yang dialami bangsa
ini," kecamnya.
Dalam aksinya itu, PMII menuntut pencabutan
Permen 23/2017, meminta pemerintah mengganti Mendikbud Muhadjir Effendy karena
telah menciderai pendidikan di Indonesia, serta meminta pemerintah
mengembalikan pengelolaan SMA/SMK ke daerah masing-masing yang saat ini
dikelola provinsi.( Ham )