SURABAYA - Oknum Jaksa Agung
Muda Pidana Umum (Jampidum), NR, diduga menjadi salah seorang aktor dalam
praktek mafia hukum perkara Sipoa Grup, menyusul keputusannya yang menaikkan
tuntutan terhadap terdakwa Budi Santoso dan kawan-kawan menjadi 3 tahun penjara, dari semula diusulkan
Kejati Jawa Timur 1 tahun penjara. Padahal selama persidangan, Jaksa Penuntut
Umum tidak mampu membuktikan dakwaannya, dan semua kerugian korban telah
dikembalikan penuh.
Kegagalan Jaksa Penuntut Umum dalam
menguraikan dan menyebutkan di dalam dakwaannya mengenai perbuatan terdakwa
manakah, dalam konteks pembelian unit apartemen, yang merupakan perbuatan
melawan hukum, dan perbuatan sengaja dilakukan oleh terdakwa, sehingga terdakwa
patut dihadapkan di pengadilan, pada akhirnya telah mendorong Jaksa Penuntut
Umum bersikap tidak jujur, termasuk memanipulasi dan mengingkari pendapat
2 orang ahli pidana yang telah menjadi
fakta persidangan dalam perkara ini,” demikian terdakwa Ir. Klemens Sukarno
Candra dalam Pledooi (Nota Pembelaan) yang diberi judul “Melawan Mafia Hukuk
Episode Kedua” di PN Surabaya (11/2).
Pada persidangan perkara lain kasus
Sipoa Grup, Jampidum Kejagung NR juga telah menuntut terdakwa Budi Santoso dan
Ir. Klemens Sukarno Candra 4 tahun
penjara. Padahal dalam persidangan terbukti basis Jaksa Penuntut Umum
merumuskan Surat Tuntutan adalah keterangan palsu dan serangkaian kebohongan.
Dengan kata lain, Jampidum NR memutuskan
tuntutan 4 tahun penjara berangkat dari
rumusan rentut yang memuat keterangan palsu dan serangkaian kebohongan JPU.
Para terdakwa, majelis hakim,
pengunjung sidang, JPU dan kuasa hukum tidak pernah bertemu 15 orang saksi
fakta tersebut bersaksi di muka persidangan. Dan tidak pernah pula mendengar
BAP 15 saksi fakta tersebut dibacakan JPU. Para terdakwa tidak pernah pula
dimintakan tanggapannya oleh majelis hakim atas kesaksian 15 saksi
tersebut di muka persidangan. “Namun ujuk-ujuk pada Surat Tuntutan
halaman 23 sampai dengan halaman 30, tanpa malu JPU memberikan keterangan palsu
secara vulgar dan kasat mata dengan menulis: Terhadap Keterangan Saksi,
Terdakwa Tidak Keberatan” ujar terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra.
Namun dalam Replik JPU menolak
dikatakan memberikan keterangan palsu, dengan alasan yang tidak rasional. JPU
berdalih merupakan sekadar peristiwa salah pengetikan yang tidak disengaja.
Demikian pula kalimat palsu yang berbunyi “terhadap keterangan saksi terdakwa
tidak keberatan” yang ditulis pada setiap akhir keterangan 15 orang saksi a
charge itu menurut Jaksa Penuntut Umum merupakan salah pengetikan yang tidak
disengaja akibat ter-copy paste”. Dalih JPU itu terlalu naif, tidak rasional
dan tidak logis. Proses persidangan ini adalah pergumulan di wilayah
rasionalitas dimana kebenaran, argumen logis dan rasional harus dijadikan
parameter. Alibi JPU merupakan manifestasi apa yang dimaksud satu kebohongan
akan melahirkan kebohongan-kebohongan baru. Tidak mungkin peristiwa salah
ketik bisa sampai sebanyak 20 halaman dan dibiarkan salah dalam waktu 35 hari”
ujar terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dalam pembacaan Duplik di PN Surabaya
(31/1). Menurut terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, diduga tuntutan 3 tahun dan 4 tahun penjara merupakan “pesanan” Mafia Surabaya
JPU Korupsi Pendapat Hukum
Menurut terdakwa Ir. Klemes Sukarno
Candra, berdasarkan fakta persidangan, ahli pidana yang dihadirkan Jaksa
Penuntut Umum, Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H, maupun ahli pidana yang
dihadirkan terdakwa Prof. Chairul Huda, SH, MH sama-sama berpendapat,
bahwa perkara yang dihadapi para terdakwa masuk ke dalam ranah hukum
perdata.
Menurutnya Dr. M. Sholehuddin, S.H.,
M.H, apabila belum ada serah terima unit apartemen yang dipasarkan dan juga
belum jatuh tempo penyerahan unit apartemen sebagaimana dalam perjanjian, maka
belum adanya serah terima unit apartemen tersebut tidak bisa disebut sebagai
tindak pidana penipuan. Sedangkan pengembalian dana konsumen melalui cek adalah
merupakan perbuatan hukum baru yang berbeda dengan perbuatan hukum pemesanan
apartemen. Pengembalian dana kepada konsumen melalui cek adalah merupakan suatu
kesepakatan baru, dimana kesepakatan itu adalah merupakan perbuatan hukum
keperdataan. “Jadi jika kesepakatan mengenai pengembalian dana pemesanan kepada
konsumen tidak dilaksanakan, maka hal tersebut masuk ke dalam ranah
wanprestasi” ujarnya.
Menurutnya cek pengembalian dana
kepada para konsumen yang dikatakan cek kosong adalah merupakan elemen dari
perbuatan hukum keperdataan, berupa kesepakatan. Bukan merupakan unsur dari
delik penipuan. Apabila sejak awal orang yang menyerahkan cek mengetahui dengan
pasti sejak awal bahwa cek yang diserahkannya itu tidak ada isinya, maka
barulah tindakan memberikan cek itu masuk ke dalam salah satu unsur delik
penipuan berupa perbuatan kepalsuan. Namun terpenuhinya “unsur perbuatan kepalsuan”
itu tidak membuat terpenuhinya delik penipuan karena harus dipenuhi unsur delik
berikutnya yaitu “unsur orang tergerak untuk menyerahkan barang, atau membuat
hutang, atau menghapuskan piutang”.
Menurut ahli, dari dosen tetap
Universitas Bhayangkara itu ada hubungan kausalitas langsung antara unsur
“memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian
kebohongan” dengan unsur lain dalam tindak pidana penipuan yaitu “menggerakan
orang menyerahkan barang, memberi utang atau menghapus piutang”. Menurutnya
dalam hal dana konsumen yang dijanjikan dikembalikan melalui cek sudah
dilakukan pengembalian dan diterima oleh konsumen, maka mengenai pengembalian
dana konsumen itu adalah jelas merupakan ranah hukum keperdataan.
Sementara itu ahli pidana yang
dihadirkan oleh para terdakwa, Prof Chairul Huda, SH, MH, staf pengajar dari
Universitas Muhamadiyah yang juga staf ahli Kapolri berpendapat tipu muslihat
itu harus ada sebelum transaksi. Apabila penyerahan cek, adalah sebagai bentuk
pengembalian uang, atas dasar kesepakatan mengenai pembatalan jual beli, maka
tidak terpenuhinya pengembalian uang melalui penyerahan cek (cek kosong)
bukanlah merupakan tipu muslihat.
Dimana cek kosong menjadi tipu muslihat,
apabila cek itu menjadi alat penggerak, yang mengakibatkan piutang korban
menjadi hapus, dimana penghapusan piutang itu dibuktikan dengan pernyataan
korban mengenai telah hapus piutang, kalau tidak bisa dicairkan itu Namanya
gagal bayar yang masuk ke ranah keperdataan. mengakibatkan piutang tidak hapus
karena tidak cairnya cek pengembalian dana, sehingga tidak cairnya cek pengembalian
dana bukan merupakan delik pidana penipuan. Menurut ahli, yang dimaksud di
dalam penguasaan dalam delik penggelapan adalah adanya penguasaan pada barang
bergerak bukan karena kejahatan.
Menurutnya, tipu muslihat itu harus
ada sebelum transaksi. Apabila penyerahan cek, adalah sebagai bentuk
pengembalian uang, atas dasar kesepakatan mengenai pembatalan jual beli, maka
tidak terpenuhinya pengembalian uang melalui penyerahan cek (cek kosong)
bukanlah merupakan tipu muslihat. Dimana cek kosong menjadi tipu muslihat,
apabila cek itu menjadi alat penggerak, yang mengakibatkan piutang korban
menjadi hapus, dimana penghapusan piutang itu dibuktikan dengan pernyataan
korban mengenai telah hapus piutang, kalau tidak bisa dicairkan itu Namanya
gagal bayar yang masuk ke ranah keperdataan .
Seperti ramai diberitakan pers Surabaya, Budi
Santoso, Ir. Klemens Sukarno Candra, dan Aris Birawa dijadikan terdakwa, yang
berlatar belakang, adanya kelompok -- yang diidentifikasi sebagai Konsorsium
Mafia Surabaya -- yang ingin merampas asset perusahaan PT. Bumi Samudra
Jedine (Sipoa Grup) senilai Rp. 687,1 milyar, dengan “memperalat” instrumen
pelaporan, penyidikan dan pra penuntutan. (BAN)