Surabaya — Tidak semua pengabdian masyarakat harus dimulai dengan spanduk, sambutan resmi, atau ruang seminar yang kaku. Kadang, cukup dengan memadamkan lampu, menyalakan proyektor, dan membiarkan sebuah cerita berbicara. Itulah yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPN Veteran Jatim) melalui program bertajuk Layar Keliling 2025.
Berlokasi di SMA 17 Agustus 1945 Surabaya, kegiatan ini menghadirkan pengalaman sinema langsung ke ruang sekolah. Namun yang membuatnya berbeda, film tidak diperlakukan sebagai hiburan semata, melainkan sebagai alat untuk membangun kesadaran, refleksi diri, dan keberanian berbicara.
Tiga film pendek karya mahasiswa ditayangkan bergantian. Dalam gelapnya aula yang disulap menjadi bioskop mini, para siswa larut dalam cerita — ada yang tertawa, terdiam, hingga merenung. Namun momen paling bermakna justru datang setelah layar padam. Alih-alih bergegas pulang, para siswa diajak berdiskusi. Mereka diminta mengungkapkan pendapat, menebak pesan moral, bahkan mengkritisi alur cerita.
“Kami sengaja tidak memberi kesimpulan di akhir film. Kami ingin mereka sendiri yang menemukan makna,” ujar Nisa Indri Oktavia, Ketua Pelaksana Layar Keliling 2025.
Diskusi berlangsung hidup. Beberapa siswa bahkan mengaitkan kisah film dengan pengalaman pribadi mereka — sebuah tanda bahwa film benar-benar berhasil membuka ruang refleksi.
Berbeda dari pola pengabdian yang sering bersifat satu arah, para mahasiswa komunitas Kinne Komunikasi memilih pendekatan yang lebih hangat. Tidak ada panggung dan podium. Mereka duduk di lantai bersama para siswa, bercakap sebagai teman, bukan instruktur.
“Kami tidak datang untuk menggurui. Kami hanya ingin menunjukkan: kalau kamu punya cerita, kamu bisa mengubahnya menjadi karya,” kata Chessy Artheina Faah, Ketua Kinne Komunikasi.
Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul. Dari hal teknis seperti “Bagaimana membuat film pertama?” hingga pengalaman lapangan seperti “Apa yang dilakukan jika syuting gagal?” Semua dijawab dengan jujur, tanpa jargon akademik.
Kegiatan ini mendapat pendampingan dari para dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim: Ririn Puspita Tutiasri, Sigit Andrianto, Mohammad Syarrafah, dan Saifudin Zuhri. Namun yang menarik, para dosen memilih untuk tidak mendominasi jalannya acara. Mereka memberi kepercayaan penuh kepada mahasiswa untuk memimpin dan berinteraksi langsung dengan para siswa.
“Ini bukan sekadar memberi inspirasi kepada pelajar, tapi juga melatih kepemimpinan dan empati mahasiswa. Mereka belajar memimpin perubahan dengan cara yang humanis,” ujar Ririn Puspita Tutiasri, Kepala Laboratorium Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jatim.
Hasilnya terlihat nyata. Beberapa siswa yang awalnya pemalu mulai berani berbicara di depan umum. Ada yang mengaku terinspirasi untuk membuat film, ada pula yang baru menyadari bahwa dunia kreatif bisa menjadi jalan karier. Pihak sekolah pun menyambut positif program ini dan berharap kegiatan serupa bisa digelar secara rutin.
“Kalau anak-anak hari ini tumbuh bersama gawai dan video pendek, kenapa tidak kita didik lewat medium yang mereka pahami?” ujar Saifuddin Zuhri, dosen pendamping acara tersebut.
Program Layar Keliling 2025 membuktikan satu hal sederhana namun bermakna: pengabdian masyarakat tidak harus selalu formal dan serius. Kadang, perubahan justru lahir dari layar selebar dua meter, cerita berdurasi lima belas menit, dan keberanian untuk berdialog setelahnya.
(Penulis: Saifudin Zuhri)