Surabaya - Kolaborasi
kreatif kembali dilakukan dua jurnalis senior, Imung Mulyanto dan Sasetya
Wilutama. Keduanya meluncurkan karya terbaru berupa antologi cerpen dalam
sebuah perhelatan budaya yang hangat dan intim.
Imung
memperkenalkan Runtah, sementara Sasetya merilis Wali Katon, kumpulan cerpen
dan cerkak berbahasa Jawa. Peluncuran ini menjadi pertemuan dua jalan estetik
yang berbeda, namun bertemu pada kegelisahan sosial yang sama.
Acara
berlangsung di sela festival Secangkir Kopi, Sejuta Ide di lobby Quds Hotel
Ampel, Surabaya. Konsep yang diusung terasa segar, peluncuran buku dipadukan
dengan pameran lukisan, iringan musik keroncong, serta suasana tempo doeloe,
Rabu (17/12/2025).
General
Manager Quds Royal Hotel, RM Pungky Kusuma, menegaskan komitmennya membuka
ruang hotel sebagai simpul ekspresi budaya dan seni lintas disiplin.
Dalam
Runtah, Imung menghadirkan sembilan cerpen yang sebagian besar belum pernah
dipublikasikan. Ia menyebut karyanya sebagai “cerpen jurnalistik”, yakni fiksi
yang lahir dari riset, observasi, dan konteks sosial yang nyata. Data faktual
tidak ditampilkan sebagai laporan, melainkan diendapkan lalu disublimasikan
menjadi cerita.
Eksperimen
ini, menurut Imung, adalah upaya menjembatani disiplin jurnalistik dengan
sastra, meski ia sadar risikonya bisa mengganggu kelancaran alur bagi pembaca
tertentu.
Editor buku
Runtah, Adriono, menilai kekuatan utama antologi ini terletak pada teknik
pembukaan cerita yang efektif. Kalimat awalnya menohok, menyerupai opening hook
dalam sinema atau lead dalam berita.
Gaya
bertuturnya lancar, visual, dan kaya dialog, membuat cerita terasa seperti
adegan film yang bergerak cepat, bahkan kerap ditutup dengan surprise ending.
Isu-isu aktual seperti keadilan restoratif, SDGs, hingga problem BPJS hadir
sebagai latar reflektif, bukan khotbah.
Sementara
itu, Wali Katon menjadi penanda “bangun tidur” Sasetya Wilutama dari jeda
panjang penulisan sastra. Antologi ini memadukan lima cerpen dan delapan cerkak
yang ditulis sepanjang 2022–2025, mengangkat pahit-getir kehidupan wong cilik.
Sasetya
dengan sadar menolak dikotomi bahasa, menempatkan sastra Jawa dan Indonesia
pada derajat yang setara sebagai medium ekspresi universal. Tema keluarga,
pengkhianatan, luka batin, dan pertobatan mendominasi karya Sasetya.
Tokoh-tokohnya kerap “ora umum”: orang sakit, tersakiti, dan mereka yang
bergulat dengan rasa bersalah.
Struktur
alurnya maju-mundur, penuh kejutan dan perubahan sudut pandang. Menurut Imung
yang juga menjadi penyunting, kekuatan Sasetya terletak pada penciptaan tokoh
yang tidak generik, namun sangat manusiawi.
Peluncuran
dua buku ini bukan sekadar peristiwa literasi, melainkan perayaan perjalanan
kreatif dua jurnalis yang memilih sastra sebagai ruang kontemplasi. Dua buku,
dua pendekatan, satu kesaksian, bahwa astra tetap relevan untuk membaca
keruwetan hidup manusia masa kini. (Sha)


