Pencegahan Perkawinan Anak, Unicef Bantu Dinas Terkait Berkontribusi Menciptakan Masa Depan Baik Anak

 


Surabaya-Pertunangan bocah empat tahun di Madura menjadi sorotan United Nations Children’s Fund (Unicef) sebagai ancaman perkawinan anak. Kepala Kantor Unicef Perwakilan Indonesia untuk Wilayah Jawa Tubagus Arie Rukmantara mengatakan, meski belum terjadi pernikahan, tapi budaya pertunangan anak jika diteruskan bisa memperbanyak kesempatan menikah di bawah umur.

“Satu insiden saja parah, karena gak boleh ada anak yang tidak menikmati haknya. Kita sedang melindungi sampai satu orang anak pun mengakamu perkawinan anak. Paling tidak, kita melakukan dua hal, strategis dan praktis,” jelasnya saat press release hasil lokakarya penyamaan persepsi, strategi implementasi, dan launching program Berani II di Jawa Timur, Rabu (23/4/2024).

Masih Tubagus Arie Rukmantara, Unicef mendukung dinas-dinas terkait untuk berkontribusi menciptakan masa depan baik untuk anak. Dinas perlindungan anak, dinas kesehatan, dinas pendidikan, misalnya, punya porsi masing-masing.

“Dinkes memastikan sanitasi, air bersih, dan lain-lain, terjamin, karena itu menjamin remaja merasa masa depan jauh lebih baik. Kalau datang ke puskesmas, ada konselor, dan sebagainya, itu membuat anak merasa masa depan lebih baik,” tuturnya.

Ia mengatakan, Faktor penentu, tuntasnya pendidikan dasar hingga SMA masih jadi PR. Empat juta anak masih tidak terdaftar di sistem pendidikan. Terutama anak perempuan, harus berpendidikan agar mampu menolak perkawinan anak.

“Salah satunya yang terbesar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, wajar, karena populasi besar. Kami ingin mereka kembali sekolah, itu permintaan kami ke calon presiden, agar memastikan semua anak perempuan lulus sekolah. Itu faktor penentu. Kalau semua remaja putri lulus SMA maka dipastikan menolak perkawinan anak,” ungkapnya.

Sementara Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Anwar Solihin menyampaikan bahwa, permintaan dispensasi nikah (diska) tertinggi sejauh ini didominasi tiga daerah, Malang, Jember, dan Probolinggo.

Dia menambahkan,faktor paling besar masih karena tradisi, salah satunya saling mengembalikan pemberian uang saat menghadiri undangan pernikahan atau buwuhan dalam Bahasa Jawa.

“Perkawinan anak gak cuma diska, ada nikah siri, dan lain-lain, datanya susah kami dapatkan. Saya pikir gak ada data itu, ada hubungannya dengan kultur itu untuk mengembalikan buwuhan (tradisi memberi uang saat menghadiri undangan pernikahan) jadi berusaha anaknya dinikahkan di daerah tertentu untuk dikembalikan buwuhan,” bebernya.

Anwar Solihin mengaku, akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan forum anak, harapannya semakin banyak anak yang tergabung dalam forum anak di lingkup terkecil untuk ikut menyuarakan gerakan menolak pernikahan anak.

“Forum anak punya peran luar biasa ada kasus bisa mematahkan itu. Peran itu bisa dilakukan di daerah tertentu. Karena itu kalau desa semua ada forum anak maka kita bisa. Jadi bisa bergerak di desanya dan bergerak ke mana-mana,” ucapnya.( Ham)



Lebih baru Lebih lama
Advertisement