Menguji Kedewasaan NU Organisasi Islam Terbesar Indonesia

Oleh Bambang Eko Mei

Desakan Syuriyah PBNU agar Yahya Cholil Staquf mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum, serta ultimatum tiga hari yang mengancam pemberhentiannya, menjadi titik panas yang memaksa publik, terutama warga nahdliyin, merenungkan arah organisasi yang hampir satu abad menjadi rumah spiritual, sosial, dan kultural bagi mayoritas umat Islam Nusantara.

Isu ini menyita perhatian banyak pihak bukan hanya karena bobot problemnya undangan terhadap tokoh Amerika yang dituding memiliki afiliasi dengan jaringan Zionisme internasional serta dugaan salah kelola keuangan melainkan juga karena menyangkut kredibilitas dan masa depan NU itu sendiri.

Media internasional mencatat dengan teliti peristiwa yang belum pernah terjadi dalam skala sekeras ini. Al Jazeera melaporkan bahwa NU telah meminta ketuanya untuk mengundurkan diri” setelah Gus Yahya mengundang seorang tokoh Amerika Serikat yang dikenal karena dukungannya yang kuat terhadap Israel ke sebuah acara internal. 

Reuters kemudian menulis lebih tajam dengan judul yang langsung menampar persepsi global: Kelompok Islam terbesar di Indonesia minta pemimpinnya mundur karena ketuanya pro-Israel.

Framing ini jelas mengandung risiko reputasional besar bagi NU, apalagi di tengah sensitivitas isu Palestina dan naiknya kesadaran sosial umat Islam tentang politik global.

Konflik yang kini melanda Nahdlatul Ulama (NU) kembali menguji ketahanan organisasi Islam terbesar di Indonesia dalam menghadapi dinamika internal.

Sorotan media asing seperti Al Jazeera dan Reuters membuat isu ini tidak lagi menjadi persoalan domestik, melainkan peristiwa yang dipantau dunia internasional.

Namun di balik hiruk pikuk pemberitaan, ada satu isu lebih besar yang seharusnya menjadi perhatian bersama: bagaimana NU menjaga keutuhan organisasi tanpa terjebak dalam polarisasi yang hanya akan melemahkan dirinya di hadapan publik nasional maupun internasional.

Isu undangan terhadap Peter Berkowitz pada Agustus lalu, yang disebut sebagai tokoh Amerika dengan relasi kuat pada kepentingan pro-Israel, jelas menimbulkan kontroversi internal.

Bagi sebagian kalangan NU yang sangat sensitif terhadap isu Palestina, undangan tersebut dianggap sebagai kekhilafan serius.

Apalagi peraturan organisasi secara eksplisit mengatur konsekuensi terhadap tindakan fungsionaris yang dinilai melanggar garis kebijakan atau etika organisasi.

Namun di sisi lain, sebuah organisasi sebesar NU tentu perlu terbuka dalam membangun diskursus global, sepanjang hal itu dikelola dengan transparan, bijak, dan sensitif terhadap akar tradisi serta aspirasi jam’iyyah-nya.

Di sinilah letak titik sensitifnya: kesalahan dalam manajemen komunikasi internal dapat berubah menjadi badai politik yang merusak modal sosial yang telah dibangun puluhan tahun.

Dalam konteks manajemen organisasi besar, pendapat pakar manajemen ormas keagamaan, Dr. Ahmad Zaimuddin seorang peneliti senior dalam tata kelola organisasi berbasis komunitas sangat relevan.

Menurutnya, “Ormas keagamaan dengan anggota jutaan seperti NU bukan hanya perlu pemimpin yang visioner, tetapi juga sistem komunikasi internal yang kokoh.

Konflik besar biasanya bukan karena substansi tindakan, melainkan karena proses pengambilan keputusan yang tidak inklusif atau tidak dipahami bersama oleh struktur internal.”

Dr. Zaimuddin menambahkan bahwa keberhasilan sebuah organisasi besar ditentukan oleh kemampuan elitnya membaca sensitivitas masa sekaligus menjaga agar organisasi tetap inklusif dan tidak terseret pada narasi eksternal yang memecah-belah.

Dalam situasi ini, kata kuncinya adalah manajemen persepsi dan penguatan musyawarah internal sebelum sebuah keputusan atau langkah publik diambil.

Dari kacamata itu, NU saat ini tengah menghadapi tantangan yang sebenarnya klasik: ketegangan antara perubahan dan kontinuitas.

Gus Yahya, dengan latar belakang pemikiran yang terbuka dan jejaring internasional yang luas, mungkin memandang undangan terhadap tokoh asing sebagai bagian dari upaya modernisasi dan diplomasi intelektual.

Namun struktur internal NU, terutama Syuriyah yang menjadi penjaga tradisi dan otoritas moral, tentu melihat hal ini bukan sekadar aktivitas seminar, melainkan langkah strategis yang harus mempertimbangkan implikasi teologis, politik, dan psikologis terhadap warga nahdliyin.

Ketegangan internal semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak masa pendirinya, KH Hasyim Asy’ari, NU selalu diwarnai dinamika antara gagasan pembaruan dan komitmen pada tradisi.

Tetapi sejarah menunjukkan bahwa setiap kali NU menghadapi badai, organisasi ini mampu bertahan justru karena para pemimpinnya mengutamakan maslahat jam’iyyah di atas kepentingan personal atau kelompok.

Dalam konteks konflik hari ini, ada peluang besar bagi NU untuk memperlihatkan kedewasaan berdemokrasi internal.

Desakan pengunduran diri atau keputusan pemberhentian seharusnya tidak menjadi puncak perpecahan, melainkan momentum memperkuat mekanisme kontrol internal.

Jika memang ada dugaan pelanggaran tata kelola keuangan, maka ini harus dibuka secara transparan, diaudit secara profesional, dan diselesaikan melalui mekanisme organisasi yang jelas.

 

Sebaliknya, jika sebagian elit NU menganggap langkah Syuriyah terlalu politis atau terburu-buru, maka ruang dialog harus diperluas, bukan ditutup.

NU memiliki tanggung jawab moral yang sangat besar sebagai jangkar moderasi Islam Indonesia.

Dunia internasional mengakui NU sebagai kekuatan Islam moderat yang unik, mampu mengelola perbedaan tanpa terjatuh ke ekstremisme.

Namun citra ini bisa retak jika konflik internal diperlihatkan dalam bentuk ultimatum, saling tuding, dan klaim moral yang tidak terkelola.

Di sinilah peran elit NU menjadi penentu: apakah mereka memilih memperbesar konflik atau memperkuat ruang musyawarah.

Rekonsiliasi adalah pilihan paling rasional. Bukan berarti menghapus kritik, tetapi menempatkannya dalam ruang yang konstruktif.

Gus Yahya tentu harus menjelaskan secara jujur apa pertimbangan mengundang tokoh tersebut, apa konteksnya, dan apakah ada kekhilafan prosedural.

Di sisi lain, Syuriyah PBNU harus membuka ruang klarifikasi sebelum memutuskan langkah ekstrem. Sikap saling mendengar bisa menjadi obat terbaik untuk meredam ketegangan.

NU bukan hanya organisasi, tetapi ekosistem peradaban. Ia menyatukan pesantren, jamaah, ulama, kiai kampung, akademisi, dan masyarakat bawah dalam satu nafas keagamaan.

Perpecahan di puncak struktural bisa berimbas pada polarisasi jamaah di akar rumput, dan itu adalah risiko yang harus dihindari. Kesatuan NU jauh lebih mahal daripada sekadar perbedaan pendapat antar elit.

Pada akhirnya, konflik ini harus menjadi alarm bagi NU bahwa tata kelola organisasi modern membutuhkan sistem check and balance yang lebih kuat, transparansi publik yang lebih besar, serta kepekaan terhadap isu-isu global yang dapat memengaruhi persepsi.

Bila NU mampu melewati ujian ini dengan kepala dingin, bukan hanya organisasi ini akan tetap utuh, tetapi ia akan memperlihatkan kepada dunia bahwa Islam Indonesia mampu menyelesaikan konflik internalnya dengan cara yang dewasa, beradab, dan bermartabat.

NU telah melewati banyak badai sejarah. Yang dibutuhkan hari ini adalah kebijaksanaan kolektif untuk tidak menambah badai baru.

****

Lebih baru Lebih lama
Advertisement