SURABAYA,
Soerabaia Newsweek - Bengkel Muda Surabaya (BMS) memasuki usia 53 tahun. Jika
sebuah sanggar kesenian mampu bertahan lebih dari lima dekade, itu bukan hanya
soal umur yang panjang, tetapi tentang keteguhan menjaga kesadaran dan
keberanian berpikir di tengah perubahan kota yang begitu cepat.
Ketua BMS, Heru Budianto, menegaskan bahwa 53 tahun bukanlah angka biasa. “Ini
adalah jejak gagasan, pergulatan panjang, dan upaya merawat kesadaran yang
terus-menerus,”ujarnya.
Menurutnya, sejak awal, BMS memilih jalan sunyi, mencari yang tidak dicari
orang lain, memberi makna pada hal-hal yang bagi banyak orang dianggap remeh. Dari ruang inilah generasi seperti Heru Budianto, Rokimdakas, dan Dindy
Indiyati ditempa menjadi pembaca zaman, penggerak seni, dan penjaga nurani
publik.
Sementara itu, Wartawan, Sastrawan Rokim Dakas melihat, Surabaya adalah kota yang bergerak
tanpa jeda. Ritme sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keamanan terus
bergeser, sering begitu cepat hingga warganya tak sempat membaca apa yang terjadi.
Di tengah pusaran yang tergesa ini, banyak peristiwa kebudayaan tercecer.
Dirayakan sesaat lalu menghilang di balik hiruk-pikuk pembangunan.
Momentum 53 tahun BMS menjadi ajakan untuk membaca ulang perjalanan kebudayaan
Surabaya. Apa yang tumbuh? Apa yang tenggelam? Apa yang diam-diam bertahan
meski tak terlihat?
Pertanyaan ini penting agar kota tidak kehilangan cermin untuk melihat dirinya
sendiri.
Untuk membaca kota yang kompleks, BMS menghadirkan narasumber dari berbagai
latar belakang, akademisi, peneliti budaya, pekerja sosial, jurnalis, komunitas
heritage, hingga teaterawan.
Mereka antara lain Puji Karyanto S.S., M.Hum., Freddy H. Istanto, Dr. Autar
Abdillah, Dr. Jarmani, Esthi Susanti Hudiono, Heti Palestina Yunani, Dr. Rohmat
Djoko Prakosa, Kuncarsono Prasetyo, dan Meimura.
Diskusi digelar di Balai Budaya, Kompleks Balai Pemuda, pada 10–11 Desember
2025. Pemilihan Balai Budaya menjadi simbol kembalinya percakapan kota ke akar
sejarah seni Surabaya.
Kaca
Benggala
Puncak peringatan ditutup dengan pementasan teater Skolah Skandal, sebuah
lakon satire yang mengajak penonton menertawakan kenyataan pahit.
Pertunjukan ini menggambarkan dunia hukum yang gamang. Penjara menjadi ruang
tawar-menawar, kepala dapat berganti, harapan bisa dibeli, dan keadilan
dilelang kepada yang mampu membayar paling mahal.
Melalui tawa getir, Skolah Skandal memperlihatkan bahwa banyak warga telah
terlalu sering berharap dan terlalu sering kecewa. Banyak yang memilih diam,
bukan karena tidak tau tetapi karena sudah terbiasa hidup berdampingan dengan
ketidakadilan.
Ketika tirai ditutup, satu pertanyaan menggantung di udara, “Apakah kita masih
percaya pada keadilan? ”Ataukah kita hanya berharap tidak menjadi korban berikutnya?
Pertanyaan ini sengaja dibiarkan tanpa jawaban, karena jawabannya berada di
luar panggung, di tengah masyarakat yang setiap hari bernegosiasi dengan
realitas sosial yang tak selalu berpihak.
Melalui pemikiran Heru Budianto, tulisan-tulisan kritis Rokimdakas, serta
aktivitas Dindy Indiyati, BMS membuktikan bahwa sanggar bukan hanya ruang
latihan seni, tetapi ruang pembentukan karakter, keberanian, dan kesadaran
sosial.(Sha)

