Masih Berpeluang, Singky : Ijin LK Untuk Pertukaran Satwa Bukan Pengelolaan


Surabaya Newsweek- Pengamat Satwa  Singky Soewadji mengatakan bahwa, Perusahaan Daerah Taman Satwa (PDTS) Kebun Binatang Surabaya (KBS) memiliki peluang yang cukup besar, untuk mengelola kebun binatang Surabaya.

Singky Soewadji menjelaskan, meski Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan gugatan yang dilayangkan Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya (PTFSS) hal tersebut tidak menghalangi kesempatan pemerintah kota dalam mengelola KBS.

Masih Singky Soewadji, ijin Lahan Konservasi (LK) tidak ada korelasinya dengan pengelolaan di KBS. Menurut dia, kegunaan ijin LK hanya berlaku pada saat pertukaran satwa antar lembaga konservasi.

"Pemkot Surabaya melalui PDTS KBS masih bisa mengelola KBS. Karena Ijin LK itu hanya dibutuhkan pada saat pertukaran satwa bukan pengelolaan," ujar Singky Soewadji, Rabu (11/4/2018).

Terkait keputusan MA yang mengabulkan gugatan PTSS, ia menilai jika kebijakan tersebut sudah tepat. Sebab yang mengajukan ijin LK pada waktu itu adalah Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya bukan pemerintah kota.

Waktu itu, ijin LK dicabut karena ada kemelut di KBS. Seiring berjalanya waktu, ijin konservasi itu kembali diterbitkan pada saat kebun binatang dikelolah oleh PDTS KBS.

"Kalau kemudian digugat dan kemudian menang, ya menurut saya itu sah. Tapi itu justru menguntungkan Pemkot Surabaya dalam hal ini PDTS KBS. Karena tidak ada ranah abu-abu lagi," terangnya.

Menurut Singky, baik Pemkot Surabaya maupun PTFSS bisa mengajukan ijin LK kembali mulai dari awal. Di sanalah peluang Pemkot mengambil alih KBS sangat terbuka lebar.

Mengacu pada ketentuan yang ada, salah satu syarat terbitnya ijin lahan konservasi terkait kepemilikan lahan. Dalam hal ini pemerintah kota diuntungkan karena lahan Kebun Binatang Surabaya itu milik Pemkot Surabaya.

"PTFSS bisa mengajukan, tapi kan ada syaratnya seperti lahan dan sebagainya. Lahan itu milik Pemkot, jadi PTFSS tidak bisa mengajukan untuk lahan yang sama. Kalau tidak bisa menunjukan kan pasti ditolak," kata Singky.

Tidak hanya itu, Singky Soewadji juga bersedia membantu proses pengajuan ijin LK yang akan diajukan Pemkot Surabaya. Bahkan Singky memastikan ijin konservasi itu sudah bisa keluar dalam kurun waktu dua pekan.

"Jika pemerintah kota merasa kebingungan saya siap membantu. Wali kota bisa memerintahkan ajudanya untuk menghubungi saya. Tidak perlu pakai surat, dihubungi saya siap datang," imbuhnya.

Singky kemudian mencontohkan saat dirinya membantu KBS dalam mendatangkan harimau wira. Sesuai prosedur, untuk mendatangkan harimau harus minta izin lembaga terkait termasuk dari presiden.

Namun, lanjut Singky, harimau wira bisa didatangkan tanpa melalui birokrasi yang berbelit. Sehingga dalam waktu dua pekan harimau wira bisa didatangkan.

"Kalau soal status satwa saya pastikan itu milik negara. Baik itu yang di Taman Safari maupun di Gembira Luko. Keberadaanya di sana hanya dititipkan dan dimanfaatkan," tandas pria berkacamata ini.

Begitu juga soal aset yang ada di KBS, semuanya adalah milik kebun binatang. Sehingga, sangat tidak relevan jika kemudian ada pihak yang mengklaim aset yang ada di KBS itu milik perorangan.

"Ayo berfikiran waras. Semua aset itu milik KBS. Pesan saya, jangan rebutan panganane monyet," tegas Singky.

Diberitakan sebelumnya, Perkumpulan Taman Flora dan Satwa Surabaya (PTFSS) meminta kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya untuk menyerahkan kembali pengelolaan Kebun Binatang Surabaya (KBS) kepada mereka. 

Ketua PTFSS, Soejatmiko mengatakan, PTFSS berani meminta kembali pengelolaan KBS karena dalam putusan MA No. 656 PK/Pdt/ 2016 sudah berkekuatan hukum tetap maka PTFSS berhak mengelola kembali KBS.

“Dengan adanya hukum tetap, maka kami yang berhak mengelola KBS. Ini sesuai dengan berita acara penyelesaian KBS di Tretes,” ujarnya.

Untuk menunjukkan keseriusannya, PTFSS sudah mengirim surat kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Senin (18/12/2017) lalu. Surat tertanggal 13 Desember 2017 itu perihal pengembalian pengelolaan KBS.( Ham )


Lebih baru Lebih lama
Advertisement