SURABAYA - Puluhan massa yang mengatasnamakan dirinya Aliansi Surabaya
Pembela Pasien melakukan unjuk rasa di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Surabaya di Jalan Profesor DR Moestopo, Surabaya, Rabu (1/3/2017). Mereka
menuntut agar IDI Surabaya segera menuntaskan kasus dugaan malpraktik yang
dilakukan oleh dokter Moestidjab, Direktur Utama (Dirut) sekaligus dokter
Surabaya Eye Clinic.
Massa melakukan aksi demo dengan melakukan orasi dan membentangkan spanduk
bertuliskan tuntutan yang ditujukan kepada IDI Surabaya. Beberapa spanduk yang
dibentangkan massa bertuliskan diantaranya; "Apakah dokter kebal
hukum? Sehingga rakyat dikorbankan", "Adili dokter yang diduga lalai
dan bohong", "IDI jangan jadi pelindung dokter nakal".
Dalam orasinya, massa berkali-kali menyindir bahwa IDI seringkali tidak
transparan dalam menyidangkan dokter yang dilaporkan oleh pasien korban
malpraktik. "IDI harus adil, tindak tegas dokter nakal yang telah
merugikan masyarakat. Jangan justru menjadi pelindung dokter-dokter
nakal," ujar Antok Siswoyo, koordinator aksi massa dalam orasinya.
Ulah dokter nakal , yaitu- dugaan malpraktik yang menimpa Tatok Poerwanto,
warga Jalan Ubi II Surabaya. Tatok akhirnya mengalami buta permanen usai
menjalani operasi katarak saat ditangani dokter Moestidjab. Saat ditanya
terkait dugaan malpraktik ini, IDI Surabaya juatru memberikan jawaban yang
tidak transparan. "Berkali-kali jawaban IDI hanya tunggu-tunggu terus,
tanpa ada hasil," tandasnya.
Menurutnya, dokter Moestidjab dinilai tidak mencerminkan sebagai seseorang
yang berprofesi sebagai dokter atas ulahnya tersebut. Apalagi dalam kasus ini,
dokter Moestidjab justru menggugat pencabutan surat permohonan maaf yang telah
dibuatnya sendiri ke Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam surat permohonan maaf
itu, dokter Moestidjab mengakui Tatok mengalami buta permanen akibat dari
kesalahannya dalam melakukan operasi katarak.
Sementara itu, Heru Mustafa, staf IDI Jatin mengaku saat ini kasus dugaan
malpraktik atas nama teradu, yaitu- dokter Moestidjab masih terus ditangani
oleh pihaknya. Saat ini masih dalam tahap proses mediasi antara dokter
Moestidjab dengan keluarga Tatok Poerwanto (pengadu). "Masih proses
mediasi, tapi antara teradu (dokter Moestidjab) dan pengadu (Tatok Poerwanto)
masih ada tuntutan yang belum sesuai," terangnya.
Perlu diketahui, malpraktik yang menimpa Tatok ini berawal saat dirinya
mendapat perawatan medis atas penyakit katarak yang dideritanya di Surabaya Eye
Clinic pada 28 April 2016 dan ditangani oleh dokter Moestidjab. Usai operasi,
kondisi mata Tatok kian parah. Oleh dokter Moestidjab, Tatok disarankan kembali
menjalani operasi di Rumah Sakit Graha Amerta, Surabaya.
Namun usai menjalani operasi yang kedua kalinya, asisten dokter Moestidjab
justru mengatakan bahwa operasi tidak dapat dilanjutkan karena adanya
pendarahan dan peralatan kurang canggih. Kemudian dokter Moestidjab merujuk
Tatok agar segera berobat ke Singapura. Ironisnya sesampai Singapura, lokasi yang disarankan dokter Moestidjab
tenyata justru tidak layak. Keluarga pun akhirnya memutuskan membawa Tatok ke
Singapore National Eye Centre di Singapura.
Dari hasil keterangan Singapore National Eye
Centre itulah terungkap bahwa Tatok telah menjadi korban malpraktik dokter
Moestidjab. Rekam medis dari Singapore National Eye Centre menjelaskan bahwa
kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani lagi karena kesalahan saat
operasi pertama yang dilakukan dokter Moestidjab. (ban)